January
12
Bagi sebagian anak, televisi adalah hiburan gratis yang setiap saat dengan mudah bisa ditemui. Penelitian tahun 2002 menunjukkan bahwa rata-rata anak Jakarta, dalam seminggu menghabiskan waktu menonton 30-35 jam. Saat ini, bisa dibilang televisi telah bergeser dari fungsinya sebagai media informasi dan edukasi karena didominasi tontonan hiburan yang tidak edukatif.
Menurut Dr. Pinckey Triputra, dosen Fakultas Komunikasi, pasca sarjana UI, menonton TV empat jam sehari sudah tergolong sebagai heavy viewers (penonton berat). Pada anak, efeknya anak bisa terkultivasi atau terpengaruh oleh tayangan-tayangan yang ditontonnya.
"Padahal banyak content TV yang bersifat pembodohan anak, mulai dari acara mistik, pornografi, serta adegan-adegan kekerasan," katanya. Selain itu, tambahnya, keberadaan siaran TV juga telah sangat dominan di dalam keluarga, sehingga terkadang menjadi penghambat komunikasi orangtua dan anak.
Penelitian mengenai dampak TV terhadap otak anak menyebutkan bahwa menonton TV dapat menghambat perkembangan bicara, menghambat kemampuan membaca verbal maupun memahami dan mengekspresikan lewat tulisan, meningkatkan agresivitas dan kekerasan dalam usia 3-10 tahun, tidak bisa membedakan antara yang nyata dan tidak nyata, lebih cepat matang secara seksual serta kegemukan.
"Usia 0-3 tahun adalah usia yang paling berbahaya, karena ini adalah masa the golden age, pada usia ini otak anak baru berkembang, jika informasi yang diterimanya overload, bisa mengganggu penyambungan syaraf otak secara permanen," kata Bobi Guntarto, Ketua Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA).
Selama ini, menurut Bobi, orangtua sering salah mengerti. Mereka kerap membiarkan anak balitanya berlama-lama di depan TV agar tidak rewel. "Balita sebaiknya tidak boleh lebih dari 10 menit menonton TV. Pada usia balita, yang paling baik adalah anak dibiarkan banyak bergerak, bermain atau bernyanyi," tuturnya.
Untuk menyelamatkan anak-anak dari pengaruh buruk tayangan TV, sudah saatnya kita sebagai orangtua ikut serta mengarahkan anak dalam memilih tayangan TV yang layak tonton.
"Pertama orangtua harus tahu dulu jenis acara yang disukai anaknya, lalu ikut menonton. Jika orangtua melihat ada materi-materi yang tidak cocok disaksikan anak-anak, ia harus menyampaikan itu ke anak-anak," ujar Bobi.
Hal senada disampaikan oleh Elly Risman, dari Yayasan Kita dan Buah Hati. "Selain sebagai jendela dunia, TV juga memiliki banyak dampak negatif," ujarnya. Elly juga menyarankan agar orangtua melakukan komunikasi dengan anak dan menyampaikan mana acara yang boleh ditonton mana yang tidak.
Dengan banyaknya bukti betapa TV bisa memberi beragam dampak buruk, banyak keluarga yang kini sudah mulai membatasi acara TV yang boleh ditonton anak-anaknya.
Dra. Hj. Ika Dalimoenthe (41), seorang dosen Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta, mengaku meski di rumah berlangganan TV kabel, tetapi ia tetap selektif memilih program acara. "Kami memilih hanya saluran-saluran yang menayangkan kartun," ujar ibu dua anak berusia 11 dan 14 tahun ini. Ia merasa lega karena anak-anaknya terkadang jauh lebih kritis dari dirinya terhadap acara-acara TV yang tidak pantas untuk ditonton.
"Orangtua sebaiknya tidak asal melarang, tapi juga memberi alasan, anak balita berumur 2,5 tahun sudah bisa diajak bicara dan mengerti kok," kata ibu 3 anak dan dua cucu ini. Sejak kecil, Elly sudah membatasi waktu menonton TV untuk anak-anaknya yakni tidak lebih dari 30 menit sehari.
Alternatif kegiatan
Melarang anak menonton TV tidak akan efektif jika para orangtua tidak memberikan alternatif kegiatan yang bisa dilakukan. "Anda tidak bisa membuat no TV jika tidak punya aktivitas sampingan," kata Elly.
Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan sebagai pengganti waktu menonton TV. Antara lain berjalan-jalan, ke perpustakaan, bersepeda, bermain, berolah raga, membantu ibu di dapur, dan banyak lagi.
Jika orangtua tidak bisa terus menerus melakukan pendampingan kepada anak, ada baiknya orangtua juga memberikan informasi dan pelatihan kepada pembantu dan pengasuh anak di rumah tentang jadwal anak boleh menonton TV.
Dengan berkurangnya waktu menonton TV, anak akan mempunyai kesempatan mempelajari dan mengalami kegiatan-kegiatan bermain yang dapat meningkatkan kecerdasan dan kemampuan motoriknya.
Untuk menciptakan generasi anak yang lebih sehat, mari kita mulai melakukan seleksi, pengaturan dan pembatasan program TV mana saja yang layak ditonton anak-anak kita.
Kampanye televisi sehat sedang dicoba untuk digalakkan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). Intinya, anak-anak harus dikawal ketat oleh orangtua ketika menonton televisi. Tidak hanya televisi sehat, YKAI bahkan mencanangkan Hari Tanpa Televisi pada Hari Anak tanggal 23 Juli 2006 ini. Dalam sehari itu, orangtua diharapkan dapat mengajak anak-anaknya sama sekali tidak menonton televisi.
Kepala Divisi Informasi YKAI, Bobi Guntarto, mengatakan saat ini televisi susah dihindari anak-anak, apalagi jika mereka hanya ditunggui pengasuh saat orangtua bekerja. Karena itu, yang penting bukan melarang anak menonton televisi, tetapi mengatur dengan membatasi waktu menonton.
Beberapa saran mungkin berguna:
1. Diusahakan tidak meletakkan televisi di kamar, terutama kamar anak, karena akan membuat anak terbiasa dengan kehadiran televisi, bahkan hingga untuk menemani tidur. Ini harus dihindari.
2. Jika mau membatasi waktu menonton, usahakan seketat mungkin. Untuk anak di bawah tiga tahun, maksimal waktu menonton adalah setengah jam sehari dengan sepuluh menit per sesinya.
3. Orangtua sebaiknya menemani anak menonton dan memilihkan saluran yang tepat meski itu sulit ditemui. Pada saat iklan, orangtua juga wajib menjelaskan.
4. Televisi bukan alat pengganti pengasuh bayi. Jadi, jika anak sedang rewel dan menangis, sebaiknya jangan dihibur dengan televisi. Cari kegiatan lain yang lebih bermanfaat.
5. Anak agar tidak diberi tontonan yang agresif, yang memicu anak mencontoh. Untuk anak di bawah lima tahun, tontonan agresif seperti kartun Tom and Jerry, misalnya, tidak dianjurkan. Selain belum menangkap humornya dengan tepat, anak akan dengan mudah meniru adegan pukul-pukulan di dalamnya.
Menurut Dr. Pinckey Triputra, dosen Fakultas Komunikasi, pasca sarjana UI, menonton TV empat jam sehari sudah tergolong sebagai heavy viewers (penonton berat). Pada anak, efeknya anak bisa terkultivasi atau terpengaruh oleh tayangan-tayangan yang ditontonnya.
"Padahal banyak content TV yang bersifat pembodohan anak, mulai dari acara mistik, pornografi, serta adegan-adegan kekerasan," katanya. Selain itu, tambahnya, keberadaan siaran TV juga telah sangat dominan di dalam keluarga, sehingga terkadang menjadi penghambat komunikasi orangtua dan anak.
Penelitian mengenai dampak TV terhadap otak anak menyebutkan bahwa menonton TV dapat menghambat perkembangan bicara, menghambat kemampuan membaca verbal maupun memahami dan mengekspresikan lewat tulisan, meningkatkan agresivitas dan kekerasan dalam usia 3-10 tahun, tidak bisa membedakan antara yang nyata dan tidak nyata, lebih cepat matang secara seksual serta kegemukan.
"Usia 0-3 tahun adalah usia yang paling berbahaya, karena ini adalah masa the golden age, pada usia ini otak anak baru berkembang, jika informasi yang diterimanya overload, bisa mengganggu penyambungan syaraf otak secara permanen," kata Bobi Guntarto, Ketua Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA).
Selama ini, menurut Bobi, orangtua sering salah mengerti. Mereka kerap membiarkan anak balitanya berlama-lama di depan TV agar tidak rewel. "Balita sebaiknya tidak boleh lebih dari 10 menit menonton TV. Pada usia balita, yang paling baik adalah anak dibiarkan banyak bergerak, bermain atau bernyanyi," tuturnya.
Untuk menyelamatkan anak-anak dari pengaruh buruk tayangan TV, sudah saatnya kita sebagai orangtua ikut serta mengarahkan anak dalam memilih tayangan TV yang layak tonton.
"Pertama orangtua harus tahu dulu jenis acara yang disukai anaknya, lalu ikut menonton. Jika orangtua melihat ada materi-materi yang tidak cocok disaksikan anak-anak, ia harus menyampaikan itu ke anak-anak," ujar Bobi.
Hal senada disampaikan oleh Elly Risman, dari Yayasan Kita dan Buah Hati. "Selain sebagai jendela dunia, TV juga memiliki banyak dampak negatif," ujarnya. Elly juga menyarankan agar orangtua melakukan komunikasi dengan anak dan menyampaikan mana acara yang boleh ditonton mana yang tidak.
Dengan banyaknya bukti betapa TV bisa memberi beragam dampak buruk, banyak keluarga yang kini sudah mulai membatasi acara TV yang boleh ditonton anak-anaknya.
Dra. Hj. Ika Dalimoenthe (41), seorang dosen Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta, mengaku meski di rumah berlangganan TV kabel, tetapi ia tetap selektif memilih program acara. "Kami memilih hanya saluran-saluran yang menayangkan kartun," ujar ibu dua anak berusia 11 dan 14 tahun ini. Ia merasa lega karena anak-anaknya terkadang jauh lebih kritis dari dirinya terhadap acara-acara TV yang tidak pantas untuk ditonton.
"Orangtua sebaiknya tidak asal melarang, tapi juga memberi alasan, anak balita berumur 2,5 tahun sudah bisa diajak bicara dan mengerti kok," kata ibu 3 anak dan dua cucu ini. Sejak kecil, Elly sudah membatasi waktu menonton TV untuk anak-anaknya yakni tidak lebih dari 30 menit sehari.
Alternatif kegiatan
Melarang anak menonton TV tidak akan efektif jika para orangtua tidak memberikan alternatif kegiatan yang bisa dilakukan. "Anda tidak bisa membuat no TV jika tidak punya aktivitas sampingan," kata Elly.
Ada banyak kegiatan yang bisa dilakukan sebagai pengganti waktu menonton TV. Antara lain berjalan-jalan, ke perpustakaan, bersepeda, bermain, berolah raga, membantu ibu di dapur, dan banyak lagi.
Jika orangtua tidak bisa terus menerus melakukan pendampingan kepada anak, ada baiknya orangtua juga memberikan informasi dan pelatihan kepada pembantu dan pengasuh anak di rumah tentang jadwal anak boleh menonton TV.
Dengan berkurangnya waktu menonton TV, anak akan mempunyai kesempatan mempelajari dan mengalami kegiatan-kegiatan bermain yang dapat meningkatkan kecerdasan dan kemampuan motoriknya.
Untuk menciptakan generasi anak yang lebih sehat, mari kita mulai melakukan seleksi, pengaturan dan pembatasan program TV mana saja yang layak ditonton anak-anak kita.
Kampanye televisi sehat sedang dicoba untuk digalakkan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (YKAI). Intinya, anak-anak harus dikawal ketat oleh orangtua ketika menonton televisi. Tidak hanya televisi sehat, YKAI bahkan mencanangkan Hari Tanpa Televisi pada Hari Anak tanggal 23 Juli 2006 ini. Dalam sehari itu, orangtua diharapkan dapat mengajak anak-anaknya sama sekali tidak menonton televisi.
Kepala Divisi Informasi YKAI, Bobi Guntarto, mengatakan saat ini televisi susah dihindari anak-anak, apalagi jika mereka hanya ditunggui pengasuh saat orangtua bekerja. Karena itu, yang penting bukan melarang anak menonton televisi, tetapi mengatur dengan membatasi waktu menonton.
Beberapa saran mungkin berguna:
1. Diusahakan tidak meletakkan televisi di kamar, terutama kamar anak, karena akan membuat anak terbiasa dengan kehadiran televisi, bahkan hingga untuk menemani tidur. Ini harus dihindari.
2. Jika mau membatasi waktu menonton, usahakan seketat mungkin. Untuk anak di bawah tiga tahun, maksimal waktu menonton adalah setengah jam sehari dengan sepuluh menit per sesinya.
3. Orangtua sebaiknya menemani anak menonton dan memilihkan saluran yang tepat meski itu sulit ditemui. Pada saat iklan, orangtua juga wajib menjelaskan.
4. Televisi bukan alat pengganti pengasuh bayi. Jadi, jika anak sedang rewel dan menangis, sebaiknya jangan dihibur dengan televisi. Cari kegiatan lain yang lebih bermanfaat.
5. Anak agar tidak diberi tontonan yang agresif, yang memicu anak mencontoh. Untuk anak di bawah lima tahun, tontonan agresif seperti kartun Tom and Jerry, misalnya, tidak dianjurkan. Selain belum menangkap humornya dengan tepat, anak akan dengan mudah meniru adegan pukul-pukulan di dalamnya.