Aku bekerja benar penuh tanggung jawab

Di areal pembangunan sebuah bendungan raksasa, seorang pekerja bernama Tigor terperosok ke dalam lubang yang cukup dalam sehingga ia tak mampu keluar sendiri. Dia berteriak keras minta pertolongan.

Seorang laki-laki perlente berdasi dan berkacamata hitam mendengar teriakan itu. Dia menengok ke dalam lubang, melirik ke jam Rolex di tangan kirinya, lantas pergi buru-buru. Rupanya keperluan lain pemimpin proyek itu lebih penting daripada nyawa seorang pekerja.


Beberapa saat berlalu, seorang insinyur, kontraktor proyek tersebut, mendengar teriakan itu lalu mendatanginya. Dia memandang ke lubang dan menggelengkan kepalanya. Sambil berkacak pinggang ie memberikan ceramah kepada Tigor, “Hei, mengapa kau begitu ceroboh sampai terherumus begini? Kalau berjalan jangan melamun dong! Itu mata jangan nggak dipake. Kamu payah sekali, di areal ini lubang Cuma satu, kamu kok terjerumus juga. Berjalan saja tidak becus, apalagi memasang batubata! Nanti kalau sudah keluar, hati-hati OK?” Setelah berkata demikian, ia pun pergi.

Beberapa menit berselang, seorang mandor menghampiri bibir lubang tersebut. Ia pun berusaha menolong. “Saya akan membantumu. Kuulurkan tanganku ke bawah dan ulurkan tanganmu ke atas. Jika berhasil kutangkap, tanganmu akan kutarik keluar, OK?” Lalu mereka mencoba saling mengulurkan tangan, tetapi tidak berhasil. Lubang itu terlalu dalam, dan mandor itu pun menyatakan menyesal tak dapat menolong Tigor.
Setengah jam kemudian, Bonar, seorang pekerja lain mendekati lubang itu, dan terkejut karena temannya terperangkap. Ia menoleh ke kiri kanan. Dilihatnya segulung tambang besar tertumpuk di kejauhan. Tanpa menunda-nunda lagi diambilnya tambang besar itu, diikatkan ke pinggangnya. Segera dia turun. Dengan hati-hati kakinya dijejakkan ke dinding lubang. Bonar mencurahkan segenap keberaniannya, seolah-olah nyawa Tigor tergantung padanya.

Sesampai di dasar lubang ia berkata, “Hei, aku Bonar. Kau naik ke pundakku, pegang talinya yang erat, kita akan keluar dari lubang ini.” Tigor menurutinya, menaiki pundak Bonar dan berhasil menggapai tali. Setapak demi setapak mereka mendaki dinding sumur. Akhirnya mereka berhasil keluar lubang maut itu. “Puji Tuhan!” kata Bonar lega. “Alhamdulillah!” seru Tigor terharu.

Empat Sikap Kerja

Secara karikatural ke empat tokoh di atas menggambarkan empat macam sikap orang terhadap amanah yang terkandung dalam pekerjaannya. Pertama, sikap sang pimpro yang pada pokoknya berkata “Emangnya gua pikirin. Ini kantor bukan milik nenek moyang gue. Peduli amat, mau untung syukur, mau bangkrut silakan. Gue di sini orang gajian, mau berkorban demi perusahaan? Sorry ya, harus ada imbalan yang sesuai dong. Kerja ya sesuai gaji kan?” Sikap pertama ini intinya adalah tidak peduli pada pekerjaan, pada organisasi. Pekerja dengan sikap tersebut sekedar mencari nafkah, mencari sesuap nasi. Meskipun tidak bisa disalahkan, jelas bahwa sikap sekedar cari makan tidak mungkin diandalkan untuk mencapai kinerja unggul bermutu tinggi seperti yang dituntut dalam era global sekarang ini.

Kedua, sikap kontraktor yang dapat disingkat dengan krido (Kritik Doang). Orang seperti ini jago ngomong, gemar mengkritik, suka mencela, tetapi jika diminta bertindak hasilnya nol. teorinya banyak, tapi implementasinya nol juga. Suka ikut seminar dan serasehan, tapi yang terutama dicari ialah kopi dan makan siang yang memang enak di hotel-hotel, bukan materi seminar yang serius itu. kemudian jika terjadi kesalahan atau kegagalan, ia selalu menyodorkan teori kambing hitam, menyalahkan kiri kanan, kecuali diri sendiri. Ia bekerja ala kadarnya, seenak udelnya, dan jika ada maslah diam-diam melepaskan diri dari tanggungjawab. Kepeduliannya dangkal sekali, Cuma sebatas mulut.

Ketiga, sikap sang mandor yang bekerja setengah hati. Awalnya bersemangat, tetapi di tegah jalan disergap rasa malas lau mandek, terutama jika menemui kesulitan. Semangat awal cukup besar tetapi tidak didukung komitmen total. Jika membentuk kepanitiaan, ia paling getol tampil sebagai pengurus inti, tetapi jika sudah mulai bekerja hidungnya jarang kelihatan. Suka bilang “ya, ya, ya, gampang deh” tapi jika hasilnya ditagih, selalu mengelak dan minta maaf tanpa rasa malu.

Keempat, sikap kerja Bonar. Inilah ideal kita. Seperti arti namanya dalam ahasa Toba – orang benar atau lurus hati – jika menerima pekerjaan ia tidak berhenti sampai pekerjaan selesai dengan baik dan benar. Ia tidak puas jika hasil kerjannya belum memenuhi standar professional. Ia punya komitmen, mau berkeringat, dan bekerja hingga pemberi kerja puas. Rasa tanggungjawab menghalanginya mengorbankan mutu pekerjaan. Ia pantang bekerja sembarangan. Ia mengharamkan penyelewengan atas kepercayaan yang diberikan. Bonar menunjukkan dengan gambling apa yang saya maksud sebagai Etos Kerja 2, yaitu Kerja adalah Amanah: Aku Bekerja Benar Penuh Tanggungjawab.

Dari Perut Amanah Lahirlah Tanggungjawab

Tokoh Bonar dalam kisah di atas bekerja benar penuh tanggung jawab karena merasa bahwa keselamatan rekannya merupakan suatu amanah yang harus dilaksanakan. Sebagai rekan sekerja dia merasa wajib tolong-menolong, apalagi dalam kasus ini rekannya terjebak dalam maut.

Konsep kunci di sini adalah amanah. Apa maksudnya? Amanah per definisi adalah titipan berharga yang dipercayakan kepada kita, atau asset penting yang dipasrahkan kepada kita. Konskuensinya, sebegai penerima amanah, kita terikat secara moral untuk melaksanakan amanah itu dengan baik dan benar. Misalnya, pemeluk agama mengakui bahwa anak adalah milik Tuhan yang dititipkan-Nya kepada orangtua untuk dididik dan dibesarkan sesuai kaidah-kaidah agama. Maka sebagai penerima amanah, orangtua bertanggungjawab membesarkan anaknya hingga mencapai kedewasaan biologis-psikologis-spiritual. Dan sudah tentu mereka harus mendidik anaknya secara baik dan benar.

Contoh lain, Martono mendapat penugasan kantor ke luar negeri. Ia punya sahabat baik sejak kecil, Marzuki namanya, yang kebetulan belum punya rumah. Martono tidak ingin mengontrakkan rumahnya karena sewaktu-waktu bisa kembali ke Indonesia. Dia merasa lebi baik menitipkan rumah itu pada Marzuki tanpa uang kontrak dengan syarat rumahnya harus dirawat dengan baik. Dia memang, sangat memercayai Marzuki, dan hitung-hitung sekaligus beramal menolong kawan yang kurang beruntung. Menerima kebaikan dna kepercayaan demikian, Marzuki senang sekali karena uang kontrak bisa ditabungnya untuk uang muka rumah BTN di masa depan. Tetapi dirinya secara moral-yaitu memikul suatu tanggungjawab-untuk memelihara dan menjaga rumah titipan Martono sebaik mungkin.

Dengan dua contoh di atas, saya mengedepankan suatu tesis bahwa tidak mungkin ada tanggungjawab tanpa konsep amanah. Dengan kata lain, amanah mendahului tanggungjawab; tegasnya amanah melahirkan tanggungjawab.

Selanjutnya tanggungjawab memerlukan predikat baik dan benar. Artinya, suatu tanggunjawab harus ditunaikan secara baik dan benar sehingga menyamai bobot amanah yang diberikan. Jika bobot amanah dan tanggungjawab tidak seimbang maka terjadilah mismatch yang membuat salah satu pihak dapat membebaskan diri dari ikatan moral yang terjadi. Jika bobot tanggungjawab kurang, maka pemberi amanah dapat menarik amanahnya kembali. Sang penerima kepercayaan dengan demikian kehilangan kepercayaan yang pernah dimilikinya. Jika amanah ditarik atau dikurangi bobotnya, padahal tanggungjawab penerima tetap tinggi, maka hubungan akan terputus karena penerima amanah kapok dirugikan. Jadi hanya ada satu pilihan: jika kita menerima amanah, kita harus bertanggungjawab secara baik dan benar. Dengan kata lain, dari perur amanah lahirlah bayi tanggungjawab.

Dalam menunaikan amanah tersebut, yaitu ketika kita melaksanakan suatu tanggungjawab, maka pelaksanannya tidak boleh sekedar formalitas. Maksudnya, tanggungjawab itu betul-betul harus kita laksanakan secara benar, baik esensinya, spiritnya, maupun administratif formalnya. Misalnya, seorang angota DPR yang mengemban amanah rakyat daerah Merauke, tidak cukup hanya sibuk melaksanakan tugas-tugas administrattif keparlemenan, tetapi paling esensial, dia juga harus menyuarakan aspirasi rakyat Merauke yang diwakilinya. Jika itu dia abaikan, maka secara moral sesungguhnya membohongi rakyat Merauke karena spirit amanah dengan sendirinya menuntut penunaian kandungan amanah dimaksud.

Demikian juga seorang akuntan, dia tidak cukup hanya menyajikan angka-angka yang balance pada kolom debet dan kredit, tetapi lebih penting lagi, angka-angka itu harus menyatakan fakta bisnis yang benar.
Di bidang lain, seorang sarjana tidak cukup hanya sekedar lulus ujian dan membuat skripsi, tetapi kelulusannya haruslah dengan proses belajar yang benar, tidak menyontek. Skripsinya-pun harus benar-benar buatan sendiri, bukan modifikasi skripsi orang orang lain dengan judul sedikit berbeda yang dipesan dari tukang skripsi yang mangkal di kios-kios pingir jalan di dekat kampus. Di sini, amanah menuntut kesejatian, bukan hanya esensinya tetapi juga prosedurnya.

Amanah : Spirit Anti-KKN

Melaksanakan amanah secara tidak benar dan kurang bertanggungjawab pada akhirnya akan menghancurkan basis kepercayaan. Padahal menurut Francis Fukuyama, kepercayaan (trust) adalah modal sosial tertinggi (Fukuyama, 1995). Karena itu, tidak melaksanakan amanah secara bertanggungjawab berarti menghancurkan diri sendiri, dan ditingkat perusahaan ini bisa membangkrutkan organisasi, mengingat yang terjadi sesungguhnya adalah kemunafikan, kepalsuan, dan pembodohan hukum-hukum. Inilah yang terjadi pada bank-bank di Indonesia pada zaman krisis moneter 1997-1999. Ratusan bank limbung kemudian ambruk karena sejak lama sebelumnya praktik-praktik kontra amanah sangat ramai diselenggarakan. Tindak kepalsuan tidak mungkin bertahan lama. Ketidakbenaran mustahil tegak berdiri lestari.. Dan hukum-hukum mustahil dilawan dan dibodohi. Kitalah yang bodoh jika berusaha melanggar hukum-hukum ekonomi, hukum-hukum alam, atau hukum-hukum moral. Jadi sekali lagi, sebuah amanah harus kita laksanakan penuh tanggungjawab, dan tanggungjawab harus kita tunaikan secara benar. Atas dasar argumentasi inilah saya berani mengatakan bahwa etos kerja kedua ini merupakan etos anti-KKN yang efektif. Maksudnya, apabila seorang pejabat, misalnya, cukup mampu menghayati pekerjaannya sebagai amanah, maka dia diberdayakan untuk mampu mengatasi godaan KKN.

KKN adalah pengingkaran atas amanah karena secara telanjang pelaku KKN memutarbalikkan arah amanah tersebut pada kepentingan dirinya dan melupakan, bahkan merugikan, sang pemberi amanah. Ia menolak bertanggungjawab kepada pihak yang berhak. Dengan kata lain, ia berkhianat karena melanggar kewajiban moralnya. Jadi, tatkala seorang anggota DPR, misalnya, menggunakan kekuasaan legislatifnya untuk ”menginjak kaki” eksekutif demi uang, maka ia telah berlaku khianat kepada rakyat yang memberinya amanah. Tatkala seorang calon ekskutif mengimingi anggota legislatif agar proposalnya disetujui, maka calon ekskutif ini sudah membunuh amanah tersebut sebelum ia sempat dilahirkan. Demikian pula polisi yang memeras rakyat, hakim yang memeras para pencari keadilan, jaksa yang memeras pejabat, atau dewan guru yang memeras orangtua murid, secara terang-terangan sebenarnya melakukan pengkhianatan kepada pemberi amanah.
Karena itu etos amanah seyogyanya diajarkan di sekolah-sekolah, dalam diklat kantor, dan di semua program pembinaan SDM, agar pegawai dan pejabat organisasi bersangkutan lebih bertanggungjawab dan berdaya secara moral dalam mengemban amanah dipundak masing-masing.

Kita Semua adalah Pemegang Amanah

Saya berkata, kita semua adalah pemegang amanah. Tidak hanya satu tetapi banyak. Terdapat multi-amanah di bahu kita.

Pertama, amanah dari Tuhan, bangsa dan negara: Itulah Indonesia dan kekayaan sosial-budayanya, Indonesia dan kekayaan sumberdayanya hayatinya, Indonesia dan kekayaan sumberdaya mineralnya. Segenap bakat, talenta, dan potensi diri kita serta anggota keluarga, khususnya anak-anak kita, bahkan rezki dan harta benda lainnya yang dipercayakan Tuhan kepada kita, semua adalah amanah.

Kedua, amanah dari organisasi: Itulah jabatan, konstituen, dan anakbuah kita; asset non-material berupa infomasi, citra, budaya, visi, nilai-nilai organisasi kita, di samping asset material seperti uang, barang, kendaraan, gedung, perkakas kantor, dan semua kekayaan organisasi lainnya.
Mengapa bisa demikian? Manusia sebagai makhluk moral adalah manusia yang berhubungan dengan dunia sekitarnya dalam suatu tatanan yang dicirikan dengan relasi-relasi moral. Jadi, hubungan kita dengan orangtua adalah hubungan moral. Hubungan kita dengan Tuhan adalah hubungan moral juga. Demikian pula dengan tetangga, dengan hewan, dengan bumi, dengan udara dan air, dengan uang, dengan pekerjaan dan jabatan – bahkan hubungan dengan apa pun, pada dasarnya adalah relasi-relasi moral, yang lahir dari status kita sebagai manusia moral, makhluk berbudi.

Dalam hubungan-hubungan moral ini, terjadilah tatanan organik, di mana kita saling memberi dan menerima. Dari orangtua kita menerima tidak saja kasih – sayang, tetapi lebih fundamental lagi, kita menerima warisan fisik, budaya, dan etisitas yang tidak mungkin kita buang.
Diri saya contohnya. Suara dan cara berjalan saya sangat mirip dengan suara dan cara berjalan mendiang ayah saya. Jidat dan mata saya sangat mirip dengan milik almarhumah ibu saya. Kemudian, karena mereka berdua orang Pak-pak, saya-pun otomatis orang Pak-pak. Tidak peduli berapa ton keju atau kuintal gudeg saya makan kemudian, tidak satu pun hal itu mengubah jati diri saya sebagai orang Pak-pak. Sampai mati saya tidak bisa lain kecuali menjadi orang Pak-pak. Bukan Cuma itu, kecerdasan, motivasi, cita-cita, standar sukses, dan kontrak-kontrak bathiniah saya, sudah pasti sebagian besar merupakan hasil organik warisan keluarga dan leluhur saya. Karena budaya kami bersifat patrilineal-seturut garis ayah- maka saya pun menerima nama keluarga (fam, marga ) Sinamo. Sesuai kaidah adat budaya kami, maka saya pun otomatis turut menjadi pemilik dalam warisan tanah ulayat Sinamo di desa Progil Jehe, kira-kira 175 km barat daya kota Medan.

Sejalan dengan tesis bahwa amanah melahirkan tanggungjawab, maka saya pun otomatis bertanggungjawab atas warisan biologis, fisik dan sosial budaya yang saya terima. Oleh karena kesadaran amanaha inilah maka tumbuh rasa tanggungjawab untuk meneruskan cita-cita orang tua saya, melaksanakan pesan-pesan kedua almarhum yang saya cintai itu. Saya berusaha menjaga nama baik mereka. Bahkan saya berusaha meningkatkan derajat mereka, memuliakan mereka dengan membangun prestasi-prestasi yang akan mengharumkan nama mereka.
Sekarang. Dengan kesadaran dan penghayatan bahwa kita mengemban amanah yang penting, maka terbitlah perasaan benar, feeling right, di dalam hati kita dan untuk melakukannya dengan benar. Perasaan ini selajutnya menimbulkan motivasi yang amat kuat. Dengan demikian kita akan berada dalam modus melakukan hal yang benar, dengan tujuan yang benar, dengan sikap yang benar, dengan cara yang benar, serta menggunakan data dan instrumen yang benar pula. Bila ini terjadi, seyogianya hasilnya akan benar pula.

Selain itu, kesadaran bahwa kita mengemban amanah, akan melahirkan kewajiban moral, yaitu bahwa nilai yang termuat dalam amanah itu kita hargai dengan sangat tinggi sehingga tumbuhlah perasaan bahwa ia harus dijaga, dipelihara, dan dilaksanakan sebaik-baiknya. Moral obligation inilah yang disebut sebagai tanggungjawab.
Selanjutnya, dengan cara yang sama Anda dan saya bisa mendaftarkan hal-hal yang menjadi tanggungjawab kita dalam hidup ini. Misalnya, karena kita turut menjadi pemegang amanah sebuah negeri yang disebut Indonesia maka kita pun mempunyai tanggungjawab sebagai anak negeri ini. Karena kita turut menjadi pengemban amanah planet bernama Bumi, maka kita pun mempunyai tanggungjawab sebagai warga Bumi. Karena kita turut menjadi penerima amanah kekayaan hayati yang beragam, maka kit pun turut bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan kita. Karena kita menjadi penerima amanah kekayaan sodial-budaya dari umat manusia sebumi, maka kit pun turut bertanggungjawab atas setiap saudara kita, sesama umat manusia. Dalam kaitan yang terakhir ini, persahabatan pun adalah amanah karena dalam persahabatan itu kita saling menerima kepercayaan, dan oleh karenanya maka kita pun bertanggungjawab memelihara persahabatan itu.

Terakhir, secara spriritual kita percaya bahwa kita telah menerima amanah kehidupan dari Sang Pemilik hidup, yaitu Tuhan Sang Maha Pemberi. Oleh karenanya kita bertanggungjawab atas setiap detik kehidupan kita yang fana ini. Entah berapa panjang usia kita di Bumi ini, maka amanah usia tersebut harus kita pertanggungjawabkan kelak di mhkamah ilahi. Entah kita akan masuk surga atau neraka, sebagian atau seluruhnya, tergantung kualitas tanggungjawab kita atas hidup kita, yaitu buah kesadaran kita atas amanah ilahi itu.

Amanah dan Pengembangan Diri

Di sini saya akan menyinggung tentang amanah unik yang diberikan Tuhan kepada kita masing-masing, yaitu bakat, talenta dan potensi biologis-psikologis-spiritual insani lainnya yang kini menjadi milik kita. Menurut Howard Gardner, seorang pakar kecerdasan dari Universitas Harvard, kita semua menerima kombinasi unik paling sedikit tujuh macam kecerdasan, yaitu kecerdasan rasional-matematika, kecerdasan ruang-waktu, kecerdasan musikal, kecerdasan emosional, kecerdasan fisik, kecerdasan verbal dan kecerdasan sosial (Gardner, 1993).

Kesadaran moral atas amanah human potensial inilah yang melahirkan konsep tanggungjawab pribadi atas pengemangan diri kita secara optimal menuju limit kesempurnaan yang mungkin. Semakin besar rasa tanggungjawab kita semakin besar pula ukuran diri kita. Orang “kerdil” disebut “manusia kerdil”, bukan karena ditakdirkan “kerdil”, melainkan karena yang bersangkutan tidak mau mengambil tanggungjawab mengembangkan dirinya dan hanya bersedia memikul tanggungjawab yang “kerdil” saja.

Sebaliknya orang “besar” menjadi “manusia besar” bukan karena badannya besar tetapi karena yang bersangkutan berani memikul tanggungjawab yang besar. Solzhnistsyn, misalnya, sastrawan Rusia pemenang hadiah Nobel 1970 ini menjadi tokoh besar – sampai ia diperlakukan bagaikan setengah dewa – karena dia merasa harus bertanggungjawab menyuarakan fakta dan kebenaran yang dilihatnya dalam kamp kerja paksa Uni Sovyet yang terkenal itu. Nuraninya tidak bisa diam. Dia merasa bahwa menyuarakan kebenaran merupakan amanah suci sehingga menulis laporan yang jujur meskipun harus disampaikan dalam bentuk novel adalah suatu keharusan nurani. Inilah tanggungjawab yang langsung berhadapan dengan kekuatan tirani raksasa bernama Partai Komunis Uni Sovyet saat itu. Lalu Solzhenistsyin pun bertiwikrama menjadi orang besar.

Contoh lain, dalam kisah klasik Daud vs Goliat bukan sang raksasa Goliat yang disebut besar, melainkan Daud yang tuuhnya justru sangat kecil ukurannya dibanding Goliat. Pada kisah biblis tersebut diceritakan bahwa tidak satu pun perwira Bani Israel yang berani tampil melayani tantangan Goliat. Keberanian dan nyali mereka ciut mengkeret. Tapi ketika Daud tiba di medan perang serta mendengar langsung hujatan dan pelecehan Goliat kepada Tuhan, maka Daud yang selalu akrab dengan Tuhan itu, segera dijangkiti moral obligation untuk membuktikan sebaliknya. Membela kebesaran nama Tuhan menjadi semacam amanah pribadi baginya yang secara instan menumbuhkan moral courage yang besar untuk melawan musuh yang kafir, fasik dan tak bersunat itu. Demikianlah Daud turun tangan sendiri menghadapi Goliat dan Menang!

Kerja adalah Amanah

Kerja pun merupakan amanah. Jabatan adalah amanahh. Inilah yang sering dikatakan oleh Baharuddin Lopa, mantan Menteri Kehakiman dan HAM yang kemudian juga dipercaya sebagai Jaksa Agung pada Kabinet presiden Abdurrahman Wahid. Bagi Lopa, jabatannya adalah amanah untuk menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan. Menurut Lopa, biar pun langit runtuh hukum harus ditegakkan.

Lebih khusus lagi, melalui kerja kita menerima amanah. Pemilik modal memercayakan usahanya. Manajemen memercayakan pelaksanaan tugas-tugas khusus. Pelanggan memercayakan kontinuitas pembeliannya. Pemasok memercayakan barangnya dengan pembayaran dibelakang. Karyawan memercayakan masa depannya. Sebagian orang lagi menerima tugas pekerjaannya sebagai amanah langsung dari negara. Merekalah para pegawai negeri, termasuk semua duta besar. Sebagian lagi mengemban amanah rakyat, merekalah para anggota DPR dan DPD. Demikian pula presiden, gubernur dan bupati mendapat mandat dari rakyat pemilihnya. Bahkan ada pekerjaan-pekerjaan yang secara langsung dari Tuhan. Itulah pekerjaan para nabi dan rasul yang pada gilirannya diwarisi oleh kaum ulama seperti pendeta, kiai, pastor. Entah apapun pekerjaan Anda, pendeknya banyak kepentingan pihak lain, yaitu para konstituen, dipercayakan kepada Anda.

Sebagai pemegang amanah (trust holder) kita adalah orang yang dipercayai dan diharapkan mampu melaksanakan amanah tersebut dengan sukses. Istilah dipercayai disini memiliki dua makna.
Pertama, dipercayai secara teknis. Ini mengandaikan adanya kompetensi. Dengan kompetensi orang mampu melaksanakan tugasnya dengan benar sesuai standar teknis dan profesional.
Kedua, dipercayai secara moral. Ini mengandaikan adanya integritas. Dengan integritas orang mampu melaksanakan tugasnya dengan benar sesuai standar etis, tidak berkubang dalam KKN. Jadi kompetensi dan integritas adalah sepasang kualitas utama agar seseorang mampu mengemban amanah dengan sukses.
Untuk membangun kompetensi diperlukan pendidikan dan pelatihan yang serius. Sedangkan untuk membangun integritas diperlukan pengetahuan akan dan komitmen kuat pada nilai-nilai etika. Keduanya tidak terpisahkan sebagai prasyarat utama bagi kemampuan mengemban amanah.

Jika kita bekerja dengan penghayatan sebagai seorang pengemban amanah, maka secara internal, oleh karena otot integritas kita yang terus berkembang, kita akan bertumbuh menjadi pribadi yang terpercaya. Kata terpercaya di sini mengandung dua makna. Pertama, keandalan (reliability) yang mengacu pada kompetensi teknis; dan kedua, keterpercayaan (thrustworthiness) yang mengacu pada kompetensi etis.
Jelas bahwa karakter keterpercayaan ini menjadi jaminan sukses pelaksanaan amanah itu sendiri. Secara empirik kita melihat bahwa orang yang sukses mengemban amanah kecil akan mendapat kepercayaan amanah lebih besar. Lagi-lagi karakter terpercaya menjadi modal penting untuk sukses lanjutan itu. Boleh dikatakan, di atas karakter terpercaya inilah kita membangun kinerja yang unggul, sehingga pada gilirannya membuat kita dihargai dan dipercayai orang. Hal ini tentu akan memupuk motivasi dan harga diri kita. Demikianlah harga diri yang sehat dan rasa bangga yang benar ditegakkan di atas fondasi yang kukuh.

Menumbuhkan Etos Amanah

Bagaimana cara mengembangkan etos amanah? Ini pertanyaan sulit. Tetapi sangat penting untuk dijawab karena pengetahuan ini akan membawa kita pada kunci pengembangan SDM terpenting bagi negeri ini. Di tingkat internasional, Indonesia selalu berlangganan gelar negeri terkorup di dunia. Apa pun argumentasi kita, jelas bahwa memberantas korupsi harus menjadi salah satu program terpenting di republik ini. Tanpa program ini maka pembangunan apa pun niscaya takkan berhasil. Dan pada tingkat ini, berarti kita harus membangun etos amanah dalam hati setiap pejabat, setiap hakim, polisi, jaksa, guru, bahkan semua pegawai mulai dari kantor kelurahan sampai kantor kepresidenan.

Menurut observasi saya, etos amanah lahir dari proses dialektika dan refleksi batin tatkala kita berhadapan dengan kenyataan buruk di lapangan yang diperhadapkan dengan tuntutan moral dan idealisme di pihak lain. Dalam proses ini terjadi penyentakan-penyentakan perasaan, kejutan-kejutan kejiwaan, dan pencerahan-pencerahan batin – umum disebut sebagai moment of truth – yang kemudian mentransformasikan kesadaran kita ke tingkat yang lebih tinggi dan selanjutnya melahirkan etos amanah.
Pengalaman moment of truth selalu menjadi suatu titik-balik yang menandai tumbuhnya kesadaran baru dan berkembangnya moral yang lebih tinggi. Maka terbentuklah etos amanah yang selanjutnya merumuskan atau mempertegas peran dan tanggungjawab bersama serta melahirkan sebuah daya juang besar untuk mewujudkan cita-cita dan visi bersama.

Baharuddin Lopa, misalnya, menyelenggarakan proses dialektika batin tersebut antara ajaran Islam yang dianutnya secara sangat sungguh-sungguh dan realitas korupsi dan kolusi yang mengerikan di negeri ini. Saat banyak kawan seprofesi Lopa memilih menistakan diri demi uang, ia justru memutuskan menjadi protagonis. Jadilah ia seorang jaksa yang amat menakutkan bagi para koruptor, tetapi ia dielu-elukan oleh rakyat.
Demikian pula perasaan amanah seorang Mahatma Gandhi untuk menegakkan keadilan dan meraih kemerdakaan bagi India, muncul pada saat ia mengalami moment of truth di sebuah stasiun kereta api di Durban, Afrika selatan. Sebagai pengacara lulusan Inggris ia sanggup membeli karcis kelas satu. Tetapi warna kulitnya membuat ia dianggap tak layak duduk di sana sesuai aturan zalim sistem apartheid. Polisi pun menyeret dan melemparkan Gandhi keluar kereta pada saat tiba di stasiun berikutnya. Pengalaman ini sangat menyentak kesadaran Gandhi. Lalu ia pun mulai bermertamorfosa menjadi pejuang keadilan, pengemban amanah kebenaran.

Bung Karno juga mulai menumbuhkan etos amanah untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan Belanda tatkala ia terlibat dalam pergumulan intensif, yang diakibatkan kenyataan kaumnya yang terpuruk, miskin, papa dan tertindas di tengah gemerlapan kaum penjajah yang makmur. Di tengah kontras besar itu, kesadaran politik Soekarno, yang saat itu masih sangat belia sebagai siswa HBS (setingkat SMU), semakin bertumuh pesat karena ia mendapat pencerahan-pencerahan batin dan intelektual melalui diskusi-diskusi dengan para aktivis Islam dan kaum Marxis di indekosnya di kediaman HOS Tjokroaminoto, di kota Surabaya. Etos amanah ini kemudian dikonseptualkannya dalam suatu bingkai teori politik yang diberinya judul “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” yang terkenal itu. Tatkala ia pindah ke Bandung dan menjadi mahasiswa THS (kini ITB) kesadaran dan moral feeling ini semakin matang melalui aktivitasnya dalam berbagai perkumpulan dan pertemuan politik yang diungkapkannya melalui talenta terbesarnya, yaitu berpidato. Saat di tanah Priangan ini inovasi politiknya yang semakin cerdas menghasilkan apa yang kelak dikenal sebagai Marhaenisme. Dua penjara, Banceuy dan Sukamiskin, turut pula memperkaya batinnya serta memperkuat tekadnya dalam mengemban amanah rakyatnya, sampai-sampai kemudian secara elegan merumuskann peranan dirinya sebagai “Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Secara hakiki, Soekarno mengalami dan melakukan proses-proses transendensi intelektual-spiritual dengan cara menyelami dan mengkonstruksi suatu gagasan besar bernama “Indonesia”. Ia bahkan mengidentifikasi dirinya dengan bakal negara bernama Indonesia tersebut sedemikian rupa, sehingga pidato pembelaan dirinya di mahkamah penjajah pada tahun 1926, disebutnya sebagai “Indonesia Menggugat” dan bukan “Soekarno Menggugat”.

Lahirnya Tanggungjawab

Jadi, masalah kita adalah, adakah sebuah pengalaman bathin yang dramatis pernah kita alami sehingga kesadaran etos amanah ini tumbuh subur dalam jiwa kita dan melahirkan komitmen untuk bekerja benar penuh tanggungjawab?
Secara ringkas, saya sekarang bisa menjelaskan bagaimana etos amanah yang melahirkan rasa tanggungjawab dalam tubuh SDM kita sebagai berikut :

1. Manusia harus disadarkan bahwa dirinya adalah makhluk moral yaitu insan yang berbudi luhur dan bermartabat tinggi.
2. Budi luhur dan martabat tinggi ini mewajibkan kita untuk dengan sendirinya berperilaku sesuai dengan hakikat budi dan martabat itu sendiri.
3. Pekerjaan adalah suatu tata relasi yang di dalamnya terjadi kegiatan saling memberi dan menerima secara fungsional.
4. Oleh karena hakikat budi dan martabat manusia di atas maka pekerjaan maupun setiap peristiwa kerja di dalamnya dengan sendirinya bersifat moral.
5. Kesadaran moral khusus dalam konteks kerja ini dirumuskan dalam sebuah konsep bahwa kerja adalah amanah.
6. Dari kesadaran amanah ini lahirlah kewajiban moral yaitu tanggungjawab yang kemudian menimbulkan keberanian moral dan kehendak kuat untuk :
a. Melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya.
b. Menggunakan bahan, informasi, metoda, dan prosedur dengan benar.
c. Mencapai tujuan kerja itu sendiri sesuai visi yang ditetapkan.
d. Singkatnya, amanah mewajibkan kita untuk bekerja benar penuh tanggungjawab. Ini sedikitnya berarti:
i. Bekerja sesuai dengan job description dan mencapai target-target kerja yang ditetapkan.
ii. Tidak menyalahgunakan fasilitas organisasi.
iii. Tidak membuat dan mendistribusikan laporan fiktif.
iv. Tidak menggunakan jam kerja untuk kepentingan pribadi.
v. Mematuhi semua aturan dan peraturan organisasi.

Mutiara Etos Amanah

1. Hakikat, karakter dan modus operandi amanah:
a. Kerja adalah amanah, Jabatan adalah amanah. Melalui kerja kita menerima amanah.
b. Amanah adalah titipan berharga yang dipercayakan kepada kita.
c. Semakin besar tanggungjawab kita semakin besar pula bobot diri kita.
d. Kompetensi dan integritas adalah sepasang kualitas utama agar orang mampu mengemban amanah.
e. Manusia adalah makhluk moral, artinya manusia berbudi luhur dan bermartabat tinggi yang hidup dalam tatanan yang dicirikan oleh relasi-relasi moral.
f. Moment of truth selalu menjadi titik balik menandai tumbuhnya kesadaran baru dan berkembangnya moral yang lebih tinggi.
2. Dari perut amanah lahirlah tanggungjawab:
a. Amanah mengharuskan kita bekerja benar penuh tanggungjawab.
b. Amanah menuntut kesejatian, baik esensi maupun prosesnya.
c. Etos amanah lahir dari proses dialektika dan refleksi batin tatkala kenyataan buruk dihadapkan dengan tuntutan moral dan idealisme.
d. Kesadaran akan amanah melahirkan kewajiban moral, yaitu tanggungjawab yang kemudian menimulkan perasaan benar, keberanian moral, dan kehendak kuat untuk melaksankan tugas dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, serta menggunakan bahan, informasi, metoda, dan prosedur dengan benar untuk mencapai tujuan kerja itu sendiri sesuai visi yang ditetapkan.

3. Kekuatan amanah: amanah adalah kepercayaan.
a. Menerima dan memikul tanggungjawab adalah salah satu cara terbaik mengembangkan karakter manusia.
b. Kita menerima amanah kehidupan dari Sang Pemilik Hidup, karenanya kita bertanggungjawab atas setiap detik hidup kita yang fana ini.
c. Kita semua adalah pemegang amanah. Tidak hanya satu tetapi banyak amanah.
d. Barangsiapa berhasil mengemban amanah kecil akan mendapat kepercayaan mengeman amanah besar.
e. Tanggungjawab harus diwujudkan dengan benar, baik esensi, semangat, maupun teknis pelaksanaannya.
f. Tanggungjawab harus ditunaikan setara dengan bobot amanah yang dipercayakan.
g. Tidak ada tanggungjawab tanpa kesadaran amanah. Amanah melahirkan tanggungjawab.
4. Manusia amanah : tujuan amanah yang terpenting adalah agar kita semua menjadi manusia yang sungguh-sungguh bertanggungjawab:
a. Kita membangun kinerja yang unggul sehingga dihargai dan dipercaya.
b. Jika kita bekerja dengan penghayatan sebagai pengemban amanah, maka kita akan bertumbuh menjadi pribadi yang handal secara teknis dan kompeten secara etis.
c. Pemegang amanah harus berkompetensi tekis agar hasilnya baik, dan berkompetensi etis agar hasilnya benar.
d. Untuk membangun kompetensi diperlukan pendidikan dan pelatihan yang serius. Untuk membangun integritas diperlukan pengetahuan dan komitmen kuat pada nilai-nilai etika. Keduanya tidak terpisahkan sebagai prasyarat utama bagi kemampuan mengemban amanah.
5. Dunia tanpa amanah :
a. Ingkar akan amanah menghancurkan kepercayaan dan kredibilitas.
b. Korupsi, yang adalah pemutarbalikan amanah – dari kepada sang pemberi amanah menjadi kepada kepentingan pribadinya – akan merajalela, dan koruptor hidup bebas berfoya-foya.
c. Kredibilitas dan kepercayaan pribadi menjadi rusak, yang pada gilirannya akan menghancurkan tatanan kehidupan bersama.
d. Tanpa pelaksanaan amanah yang benar dan bertanggungjawab, basisi saling percaya akan hancur berantakan.
e. Tanpa amanah kepalsuan akan bertahan lama, ketidak – benaran akan tegak berdiri lestari,dan hukum-hukum akan senantiasa dilawan dan dibodohi