Mengapa aku gagal ???

Manusia : Kenapa aku diuji?
Qur'an : Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:"Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (Al-Ankabuut : 2)

Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (Al-Ankabuut : 3)


Manusia : Kenapa aku gagal?

Qur'an :
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci, boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Al-Baqarah : 216)

Manusia : Kenapa aku diberi ujian seberat ini?

Qur'an :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al-Baqarah : 286)

Manusia : Aku frustasi!

Qur'an :
Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman. (Ali Imraan : 139)

Manusia : Bagaimana aku harus menghadapinya?

Qur'an :
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu beruntung. (Ali Imraan : 200)
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'. (Al- Baqarah : 45)

Manusia : Apa yang aku dapat dari semua ini?

Qur'an :
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu'min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. (At-Taubah : 111)

Manusia : Bagaimana menguatkan hatiku?

Qur'an :
Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal. (At-Taubah : 129)

Manusia : ...................???

Qur'an :
dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir. (Yusuf : 87)






Sedikit bukannya sia-sia

Disebuah desa, saya sering mendengar lagu - lagu merdu yang dimainkan seorang pengamen tua menggunakan harmonikanya. Pak Slamet, nama pengamen itu, adalah orang yang sederhana. Walau begitu, ia selalu tampil rapi dengan baju bersih yang dimasukkan. Rambutnya dipotong pendek dan tersisir lurus ke belakang.
Ia biasanya berdiri di depan pintu dengan sikap tegak seperti orang mengheningkan cipta, lalu mulai memainkan harmonikanya. Matanya berkali - kali terpejam saat mengalunkan nada-nada yang mengalir seperti air, tanda ia sungguh kusyuk menyampaikan lagunya.
Meski tak mengerti lagu apa yang dimainkan Pak Slamet, kesungguhannya bermain harmonika telah menarik saya untuk mengetahui apa yang dia lantunkan. Dalam salah satu kesempatan, saya bertanya, "Pak, itu lagu apa?"

*****Ia menjawab dalam bahasa Jawa halus, yang kira - kira terjemahannya demikian: "Ini adalah lagu agar orang-orang yang mendengarnya menjadi tenteram dan damai. Banyak orang tidak tenteram karena pikiran. Semoga saya bisa membantu menenteramkan mereka.********
Jawaban itu sungguh tidak saya sangka - sangka. Tadinya saya mengira akan mendapat jawaban bahwa lagu itu lagu Jawa kuno, atau lagu pop masa lalu. Ternyata dugaan tersebut meleset. Bagaimana mungkin orang tua ini memiliki pemikiran seperti itu? dalam hati kubertanya.
Tapi saya, yang waktu itu adalah seorang mahasiswa dengan pengetahuan maha luas, yang percaya hanya tindakan besarlah yang bisa mengubah dunia, kembali melontarkan pertanyaan dengan nada sedikit melecehkan, "Lalu sudah sampai mana Pak Slamet menyebarkan ketenteraman itu? Sudah berapa orang yang mendengarnya dan sembuh dari kegalauan hidupnya?"

Ia menjawab tersenyum, "Hanya pada beberapa orang yang rumahnya saya lewati di sekitar sini. Semoga ada satu atau dua di antara mereka menjadi damai karena mendengar lagu saya, walau tidak bagus saya memainkannya. Syukur kalau kedamaian itu ditularkan."
Jawaban tersebut menunjukkan betapa besar hatinya dan membuat kecut hatiku. Dalam kesederhanaannya, pengamen tua itu memberikan apa yang bisa disumbangkan bagi orang lain. Tampaknya remeh, karena lagu - lagunya hanya dihargai seratus perak dan hanya didengar oleh segelintir orang di sebuah wilayah kecil. Tapi ketulusan dan kesungguhannya dalam memberi, bernilai jauh lebih tinggi dari itu.
*******************************************

Saya katakan, bila dilihat dari besar kecilnya yang dilakukan, usaha Pak Slamet membagi kedamaian serasa sia - sia, seperti juga perasaan kita saat kita memperjuangkan sesuatu sendirian atau dalam skala kecil. Tapi walaupun kecil, apa yang dilakukan dengan sungguh - sungguh mungkin bisa menggerakkan orang lain, seperti pengamen tua itu telah menggerakkan saya menceritakan hal ini, walau --sekali lagi-- cerita ini hanyalah cerita biasa yang tampak sia - sia.

Namun dalam apa yang sering kita anggap sia - sia, sebenarnya tersimpan harapan karena orang - orang lain barangkali memiliki pemikiran sama. Maka tepatlah kata - kata John Lennon dalam lagunya, Imagine: "You may say I'm a dreamer... but I'm not the only one, I hope someday you'll join us, and the world will live as one..."

Nice to read (salam untuk semua).


Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com datang. Ada satubuku yang langsung saya sambar dan baca seketika. Judulnya: "Stuff ,TheSecret Lives of Everyday Things". Buku itu tipis, hanya 86 halaman, tapiinformasi di dalamnya bercerita tentang perjalanan ribuan mil dari mana barang-barang kita berasal dan ke mana barang-barang kita berakhir.
Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik memakan wakturatusan tahun untuk musnah, saya sering merenung: orang gila mana yang mencipta sesuatu yang tak musnah ratusan tahun tapi masa penggunaannyahanya dalam skala jam-bahkan detik? Bungkus permen yang hanya bertahansepuluh detik di tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di tanah dan baru hancur setelah si pemakan permen menjadi fosil.Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa plastik, tanpa cat, tanpa deterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion. Dansebagai konsumen dalam sistem perdagangan modern, sejak kita lahir rantai pengetahuan tentang awal dan akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsi telah diputus. Kita tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke manakemasan styrofoam yang membungkus nasi rames kita pergi, berapa banyak pohon yang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam saja, beban polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta.Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang terasa wajar-wajar saja, pernahkah kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita bisa menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat berat tubuh kitasendiri?Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk mencuci secangkir kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapisdaging burger yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar2,400 liter air. Produksi satu set PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja kita menghasilkan 62 kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang bekerja didalamnya? Limbah yang dihasilkan untuk memproduksinya 4,500 kali lipat lebih berat daripada berat chip itu sendiri.Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai reaksi. Kita bisa frustrasi karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup yangtak bisa dikompromi, kita bisa juga semakin apatis karena tidak mau pusing. Yang jelas, sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya dibuka. Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun dan membedahjantung katak, dapat dibuat lebih empiris dengan mempelajari hulu dan hilir dari benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung jawab akanalam ini telah disosialisasikan sejak kecil.
Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai, PasarBaru, atau berjalan-jalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada lautan PKL: tidakkah semua baju dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan penduduk satu kota ? Tapi kenapa barang-barang ini tidak ada habisnyadiproduksi? Setiap hari selalu ada jubelan pakaian baru yang menggelontori pasar. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan melihat ratusan macam biskuit, ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun:haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu?Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh melebihi apa yang kita butuhkan? Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima pasang baju dalamsetahun, bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidakberbatas. Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihan panganan dalam sehari. Atas nama sel era dan nafsu, seisi Bumi tidak akan sanggup memenuhi keinginan satu manusia.Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai kaca mata. Seorangekonom mungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi.
Seorang sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan. Tapi jika kita runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah kumpulan negara,negara adalah kumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan individu, permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran serta kemauan kitalah yang pada akhirnya akan memungkinkan sebuah perubahansejati.Belum pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan harian kita menjadi sangat menentukan. Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protocolKyoto , tidak perlu juga menunggu penjarah hutan tertangkap, setiap langkahkita-memilih merk, kuantitas, tempat, gaya hidup-adalah pilihan politis dan ekologis yang menentukan masa depan seisi Bumi. Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen sayabekerja, tapi saya bisa lebih awas dengan jam penggunaan dan mematikannyajika tidak perlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi, tapi saya bisa memilih membaca berita lewat internet atau membaca koran ditempat publik ketimbang berlangganan langsung. Bagaimana dengan fashion?Di dunia citra ini, dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di muka publik, saya pun belum bisa mengorbankan keperluan fashion (baca: membelibusana lebih sering dari yang dibutuhkan), tapi saya bisa membuat komitmendengan lemari pakaian, yakni baju yang saya miliki tidak boleh melebihi kapasitas lemari saya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar. Dan setiapbeberapa bulan saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada baju yang tidaksaya pakai setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan tak pernah lagi. Bukan cuma baju, ada juga buku, pernik rumah, alat dapur, bahkan sabun dan sampo yang utuh tak disentuh.Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta karun', yangberisikan barang-barang yang harus keluar dari peredaran, karena jika dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi unsur manfaat. Harta karun ini lantas harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran.Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan bazaar.Para warga menyewa stand untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan sayalah satu-satunya penjual barang bekas di antara penjual barang-barubaru. Karena bukan demi cari untung, barang-barang itu saya lepas dengan harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga darikampung sekitar. Hari pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksasaya mengontak saudara-saudara saya yang barangkali juga punya barang bekas untuk disalurkan. Sama dengan saya, mereka pun punya timbunan harta karun yang entah harus diapakan. Stand saya menjadi salah satu standpaling laris selama bazaar berlangsung. Dan kakak saya terkaget-kaget dengan penghasilan yang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah dianggap sampah.Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara kreatiflain untuk memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga disumbangkan. Namun yang lebih sukar adalah memulai membuat komitmen-komitmen pembatasan diri. Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian,dengan rak kamar mandi, dengan laci dapur, dan pada intinya... dengandiri sendiri. Siapkah kita menentukan batasan dan berjalan dalam koridor itu? Dan, yang lebih susah lagi, adalah pengendalian diri dari awal bersuaaneka pilihan yang membombardir kita setiap hari, lalu sadar dan mawasakan rantai sebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka diri untuk info dan pengetahuan ekologi adalah salah satu cara pembekalan yang baik. Walaupun sekilas tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantongkresek yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang oleh sihir, danhamburger yang kita makan tidak dipetik dari pohon. Rantai yang menyertai barang-barang itu tidak akan hilang hanya karena kita menolak tahu.Banyak orang yang berkomentar pada saya, " Aduh , Wi . Kamu bikin hidup tambah susah saja." Dan mereka benar. Hidup ini tak mudah. Untuk itu kita justru harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih hidup yanglebih sederhana, hidup dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan pengasahan kesadaran, tak hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi juga membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang dijadikan alas kakioleh industri demi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri.Lingkaran setan? Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup berubah.Selama ini kita adalah pembeli yang berlari. Dalam kecepatan tinggi kita bertransaksi, sabet sana sabet sini, tanpa tahu lagi apa yang sesungguhnya kita cari.Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan.