Apa susahnya mengucap kata? Siapa pun bisa berkata-kata, sebebas-bebasnya. Namun ingat, kata-kata bisa lebih tajam dari pisau. Ia dapat melukai batin, yang kadang sulit sembuh hingga kapan pun. Jadi, berhati-hatilah melontarkan kata-kata.

Ini kisah nyata. Okta Triani (10), bergegas pulang padahal sekolah belum lagi usai. Bocah kelas IV SD itu ingin mengadu pada ibunya, dirinya dikatai jelek oleh teman-temannya sekelas. Ia sakit hati, marah, dan merasa terhina. Setiba di rumah, sang ibu tak ada, Sedang ayah bekerja. Tak ada seorang pun tempat ia memuntahkan kesal. Entah kenapa, ia kemudian menyambar racun serangga, menenggaknya dua kali. Lalu, berangkat lagi ke sekolah. Okta jatuh pingsan di depan rumah. Untung tetangganya lewat dan membawanya ke rumah sakit. Okta pun selamat.


Peristiwa pada 2 Maret 2005 pukul 10.30, di Serpong, Tangerang, menyiratkan bahaya kata-kata jika disampaikan secara tak semena-mena. Betapa kata-kata kuasa merobek harga diri, bahkan hidup seseorang.
Tergantung Relasi
Apakah kata itu? "Kata adalah simbol yang dibuat manusia, hingga sebetulnya memiliki arti yang tidak jelas," ujar Dr. Jeannette Murad, staf pengajar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. "Misal, kata “sadis’ berbeda ukurannya untuk setiap orang. Inilah yang menyebabkan miscommunication, karena, ia menangkap lain dari apa yang saya maksudkan.”

Memang, kata adalah bentuk ucapan (verbal) dari apa yang kita pikirkan dan rasakan. Namun, menurut Dr. Jeannette, perasaan lebih tampil dalam tingkah laku non-verbal, misalnya melalui intonasi, tekanan kata, mimik, dan sebagainya.
"Perhatikan komentator olahraga, dari cara bicaranya, bukan apa yang dibicarakan, tampak jelas ia pro tim yang mana," imbuhnya. Dari caranya memberi penekanan kata, juga bisa memberi makna yang lain.
Dicontohkan, kata "dia cantik" adalah ucapan tulus, tapi jika diucapkan “Dia? Cantik?” jelas mengandung pelecehan. Jadi, tergantung bagaimana mengucapkannya. Kata-kata bisa sama, tapi arti atau pemaknaannya tergantung pada yang menyertainya, termasuk mimik atau bahasa tubuh. “Tanpa itu pun sebenarnya tetap bisa dibaca dari intonasi. Coba bicara di telepon, tanpa melihat mimik pun kita tahu dia sedang jengkel atau marah."
Mengapa kata-kata bisa berdampak negatif bagi orang lain?

Itu karena orang yang mendengarkan mempunyai latar belakang yang berbeda dengan yang berbicara. Ada juga faktor perbedaan budaya. Misalnya seperti yang terjadi pada jaksa Agung A. Rahman di depan rapat kerja dengan DPR. Ia marah karena dikatakan sebagai "Ustad di tengah kampung maling”. “Bagaimana kita mempersepsikan sesuatu tergantung pada bagaimana relasi kita dengan dia,” tandas Dr. Jeannette.
Relasi renggang berbeda dengan seandainya berteman baik. Sehingga, jika dikatakan “Kamu gendut”, penerimaannya akan berbeda. Pada orang yang tak begitu dikenal, akan terasa menyakitkan. Sebaliknya, jika diucapkan kepada seorang sahabat, bisa diterima sebagai feedback positif, bahwa berat badan kita bertambah, sehingga butuh diet khusus.

Nah, yang terjadi pada si bocah Okta sedikit berbeda. Selain hubungan dengan teman-teman kurang baik, ia sendiri belum memiliki pertahanan diri, sehingga amat rentan terhadap kata-kata yang menyinggung perasaan.
Sebaliknya, memberikan kata-kata pujian juga harus hati-hati. “Jika tak tepat waktu, misal sedang ada masalah, maka pujian bisa berakibat fatal,” Jeannete mengingatkan. Begitu pun jika tak sesuai dengan kenyataan, pujian bisa dianggap sindiran atau ejekan. Ada pula pujian yang diprotes si terpuji, karena ia merasa dirinya tak pantas dipuji.

Menerima kata pujian juga harus waspada. Selain bisa melenakan, biasanya pujian bermata dua, bisa juga untuk menjatuhkan. Menggunakan kata-kata bersayap juga jangan sembarangan. Apalagi jika dilatari perbedaan budaya. “Apa yang biasa pada budaya daerah tertentu belum tentu bisa diterapkan pada budaya daerah lain.”

Non — Verbal

Hanya kata-kata berbentuk kalimat berita atau informasi yang tak berdampak sama sekali pada orang lain. Karenanya, aspek nonverbal menjadi sangat penting, agar kata-kata yang disampaikan jadi berbobot atau bernilai.
Namun, kata-kata yang biasa diucapkan, yang bisa diterima dengan senang hati, instruksi atasan pada bawahan, misalnya, akan menjadi hambatan jika seseorang sedang bermasalah.
Hambatan berkomunikasi juga bisa terjadi jika kita keliru menggunakan pola komunikasi. Jeannette memberi contoh gaya khotbah pastor atau ustad atau pemuka agama lainnva, yang dapat diterima oleh jamaah masing-masing tanpa masalah. Namun, akan jadi persoalan jika gaya ini kita adopsi pada tempat dan situasi berbeda. Di kantor misalnya, atau di rumah. Siapa pun lawan bicaranya, pasti akan bosan mendengar “khotbah” Anda.
Antara atasan-bawahan, faktor non-verbal boleh dijadikan penekanan. Antara lain, teguran atasan akan tidak efektif jika dilakukan ketika bertemu selintas di lift, lobi kantor, atau bahkan kamar kecil. Akan lebih mengena jika si bawahan dipanggil khusus ke kantor untuk berbicara secara serius.
Jeannette menekankan, misalnya dalam evaluasi buruk pada appraisal review tahunan, harus disampaikan langsung dengan kata-kata lugas, jangan sampai si bawahan menduga-duga arah maksud atasannya.

Diam itu emas

Tepatkah pepatah ini? "Ada kalanya benar, setidaknya untuk memberi kesempatan orang lain bicara,” imbuh Jeannette. Ia memperkirakan, pepatah itu lahir karena kadang-kadang orang salah bicara.
Namun, diam di sini bukan berarti membunuh kata. Membiarkan kata mati terpendam, tanpa memberikan kesempatan mulut melahirkannya. Diam adalah salah satu cara untuk menggali lebih lanjut. “Diamnya kita bisa juga berarti kita memiliki empati. Namun, kalau harus dikatakan, ya katakanlah,” Jeannette memberi aksentuasi

sambil senyum.

Menghadapi orang marah pun sebaiknya kita diam, mendengarkan dulu. Selain untuk mengukur kemarahan dan apa yang menjadi sebab kemarahannya. Jangan langsung di-counter, nanti suasana bisa jadi tambah runyam. Biarkan kata-kata menguras kemarahannva. Setelah emosinya menurun, “Barulah dicari solusinya, yang biasanya, ternyata sederhana saja jalan keluarnya.”
Tak disangkal, ada juga orang yang diam, menyimpan kata-kata, agar dirinya tak terduga. Memang sulit mengetahui apa kehendak di balik sikap diam seseorang. Namun, bisa juga seseorang menyembunyikan sesuatu dengan berdiam diri. Diam tak selalu buruk. Saat dibutuhkan bicara, sebaiknya biarkan kata-kata menerobos ke luar, menerjemahkan pendapat, perasaan, dan pikiran Anda.

Mulutmu harimaumu

Hati-hati dengan kata-katamu, karena bisa membahayakan diri sendiri atau orang lain. Apa yang kita ucapkan memang harus sesuai dengan situasi dan kondisi, supaya tidak terjadi friksi dengan orang lain, juga kita harus berhati-hati, karena apa yang menurut kita biasa, belum tentu diinterpretasikan sama oleh orang lain, sehingga bisa jadi menyinggung perasaan orang lain, apalagi mereka yang tidak mengerti maksud dan arti kata-kata yang kita ucapkan.

Dr. Jeannette menggarisbawahi pengaruh kata-kata dalam pergaulan sehari-hari, terutama dalam rumah tangga. "Misunderstanding itu asalnya dari kata-kata.” Banyak kasus yang ditanganinya gara-gara suami merasa tak mengatakan apa yang dituduhkan istrinya. Atau, kalau pun mengatakannya, maksud kata-katanya tak seperti yang ditangkap istrinya.

Jadi, kapan dan mengapa seseorang terluka oleh kata? Lagi-lagi tergantung relasi di antara keduanya. Kalau hubungan sedang baik, omongan apapun terasa manis. Namun, jika salah seorang di antara mereka sedang dilanda masalah, kata-kata yang sama, yang biasa diucapkan sebelumnya, bisa menjadi sumber masalah.
Ada juga suami atau istri atau siapa pun, yang walaupun hatinya tersakiti tapi memilih memendam itu semua, sehingga akan meledak di suatu waktu kelak. Ini berbahaya. Seyogianya. rasa sakit akibat kata—kata itu langsung saja dikomunikasikan, agar suami-istri lebih saling terhuka. Misal. “Apa yang kamu katakan barusan amat menyakitkan hati saya.” Hal ini penting untuk membina keterbukaan.

Kata-kata dampaknya sangat besar dalam hubungan antaranggota keluarga. Kata-kata “Bodoh kamu!” yang dilontarkan pada anak, akan menyebabkan si anak memperoleh labelling bodoh. Ia akan tersugesti bahwa dirinya memang bodoh, sehingga boleh jadi ia akan benar-benar bodoh. Itu sama artinya dengan seseorang yang berkata pada dirinya sendiri ”Saya tak bisa” (mengerjakan sesuatu), maka ia tak akan bisa mengerjakannya.
Sebaliknya, ada juga kata-kata yang bisa berdampak positif bagi diri sendiri. Jika seseorang mengucapkan "Saya ingin mencapai itu”, maka kata-kata itu bisa memotivasi dirinya.

Luka batin

Kata-kata yang cenderung “menuduh”, berbahaya bagi anak remaja. Akan timhul dorongan dari dalam diri mereka untuk “membuktikan tuduhan itu.
Atau, dengan enteng ia akan menjawab, “Kalau gue emang begitu. mau apa lu!"— Karena itu, hati-hatilah menuduhkan sesuatu pada anak yang berada pada masa “pancaroba"
Disarankan, jika nilai ulangan atau rapor anak kurang bagus, semarah apa pun si orangtua, jangan sekali-kali mengatakan “tolol, bodoh, goblok. Juga jangan mengucapkan "Seharusnya nilai kamu bisa lebih bagus." Sebaiknya, diberikan statement, “Nilai begini kalau menurut Bapak sebenarnya bisa lebih baik.” Jadi, kata-katanya mesti diatur. Bila dikatakan, “Sebetulnya kamu mampu’, harus dilihat apakah benar si anak mampu. Tuntutan orangtua dipertimbangkan sesuai atau tidak dengan anak, jangan terlalu tinggi.

“Jika ada kecenderungan negatif pada si anak, misal pemalas, lebih baik panggil saja dia lalu diajak berdiskusi. Budayakan iklim keterbukaan dalam rumah tangga,” imbuh Jeannette. Keterbukaan itu sarana untuk mencari penjelasan apakah yang kita tangkap benar adanya. Hal ini menghindari terjadinya salah tangkap makna atas kata-kata orang lain.

Cukup berbahaya jika seorang ibu menghardik anaknya dengan, "Kok nakal sekali sih!” Ia sengaja menaikkan ukuran nakal agar si anak tak mengulangi perbuatannya, padahal derajat kenakalan si anak tak seberapa. Si anak jadi bimbang akan ukuran nakal, sehingga ia memilih tak melakukan apa-apa. Maka, sampai dewasa ia akan menjadi orang yang pasif.

Psikolog dra. Ieda Purnomo Sigit Sidi mencatat adanya kasus seseorang yang gemar mencela, sarkartis, atau selalu bicara kasar. Setelah ditelusuri, ternyata di masa kecil orangtuanva sering melontarkan kata-kata makian yang melukai hatinnya. Luka batin itu terbawa hingga dewasa. Sekali lagi, itu semua akibat kata-kata