Kombinasi keduanya dapat efektif dalam mengarahkan anak pada sebuah sikap mental dan perilaku bila orangtua dapat menjadi model yang konsisten ”

Susan (31 tahun), ibu satu anak usia 2 tahun, tak habis pikir melihat beberapa wanita mengikuti kelas khusus untuk melatih anak-anak mereka yang baru berumur dua bulanan tidur, makan dan bermain dengan waktu-waktu yang telah terjadwal. Selain itu, para bayi juga dilatih bersikap tidak rewel di tempat umum. ”Para ibu tersebut tega membiarkan anaknya menangis yang katanya bagian dari metode pelatihan. Menurut saya, metode pengasuhan lebih baik dibanding memaksa anak mengikuti jadwal,” ujarnya.

Mungkin ada beberapa dari Anda yang sependapat dengan Susan. Tapi, ada juga orangtua yang memberlakukan peraturan atau jadwal kegiatan anak sehari-hari dengan kaku seperti waktu tidur, makan, bermain, dan sebagainya. Tujuannya, agar anak terbiasa dengan hidup teratur dan disiplin. Begitu pun dalam bersikap terkadang orangtua memberikan batasan-batasan, misalnya dengan mengancam tidak boleh menangis di acara keluarga atau ketika anak menangis meminta sesuatu, ada beberapa orangtua yang menerapkan sikap seperti ‘mama tidak akan menolong kalau kamu tetap menangis’ atau tindakan semacamnya.

Namun, tak sedikit pula orangtua yang mencoba membiasakan anak belajar se-suatu perlahan-lahan dengan anggapan lambat laun anak akan mengerti dan terbiasa dalam bersikap manis. Di sini orangtua banyak bertoleransi yang berpotensi membuat anak kehilangan disiplin atau etikanya dalam bersikap, menganggap ‘Ah, Ibu pasti akan memahami aku’. Jadi kapan waktu men’dengarkan’ keinginan anak? Konsep pengasuhan mana yang lebih efektif, treat or train?
Psikolog anak dari Lembaga Terapan UI, Indri Savitri M.Si, berpendapat bahwa setiap orangtua memiliki citra anak ideal. Hanya saja dalam kenyataannya orangtua harus sadar bahwa keinginannya tidak bisa terealisasi begitu saja. Selain itu terdapat definisi yang beragam tentang anak idaman, seperti tangguh dengan kriteria berani, tabah, percaya diri, dan inisiatif.


Orangtua pun kadang muncul rasa kecewa dan penasaran jika anaknya tumbuh berkembang tak sesuai yang diharapkan. Lantas bisa timbul sikap pemaksaan orangtua pada anak untuk memenuhi citra ideal mereka. Dan akibatnya anak justru tidak bisa berkembang optimal. “Titik pangkalnya adalah orangtua tidak mau tahu, hanya bicara pokoknya pokoknya saja yaitu anak harus ini dan itu,” katanya.

Agar nilai yang dilekatkan pada anak tidak terlalu tinggi, Indri mengatakan, orangtua harus mengenal karakter dan kemampuan anak. ’’Karena anak bisa merasa frustasi jika terus mengalami pemaksaan dari orangtua,’ jelas Indri. Orangtua, sambungnya, harus mampu mengembangkan sikap toleransi dengan mengenal, memahami, mengerti, dan menghargai anak seutuhnya. Namun, bersikap toleransi bukan berarti memanjakan. Memanjakan artinya orangtua tidak mau repot, supaya anak tidak menangis atau rewel maka ia diberikan sesuatu yang berlebihan. “Selain itu kenali dan pahami anak baik positif dan negatifnya,”ujarnya. Sementara itu penanaman nilai pada anak juga menjadi hal penting.

Latihan = Memaksa?

Tergantung pendekatannya, lanjut Indri, latihan merupakan bagian dari pembentukan kebiasaan. Jika latihan diberikan dengan ancaman, maka anak mematuhinya karena takut pada orangtua. Dia hanya akan berlaku disiplin jika diawasi orangtuanya. Sebenarnya, disiplin merupakan bagian dari self regulation. Pengertian disiplin adalah penanaman perilaku atau pembentukan kebiasaan yang penerapannya harus konsisten. Misalnya, membiasakan anak makan pada waktunya, menonton tv pada jam-jam tertentu, membereskan mainan setelah bermain, dan lainnya.

Psikolog Winarini Wilman PhD Psi dari Universitas Indonesia memaparkan, treat lebih bersifat pasif karena metode yang ditampilkan lebih pada kemampuan orangtua memperlakukan anak untuk bersikap sesuai yang diharapkan orangtua. ‘’Sedangkan, train atau pembiasaan lebih menuntut keaktivan anak,’’ katanya.

Dia menyebutkan, treat lebih tepat diterapkan pada anak yang belum mampu dilatih. Winarini berpendapat, sebaiknya orangtua untuk lebih banyak mengedepankan metode train untuk mengasuh anaknya. ‘’Sebab metode ini tak hanya mengembangkan kognisi, tapi juga melatih motorik dan afeksi anak,’’ katanya. Metode train sudah dapat diterapkan sejak anak usia satu tahun. ‘’Train akan lebih efektif lagi diterapkan jika anak sudah dilatih sejak sedini mungkin,’’ sambung Winarini. Misalnya, gosok gigi sebelum tidur, makan pada waktunya, mengucapkan terima kasih bila mendapat pemberian, pertolongan, dan bantuan.

Winarini tak sepakat jika taktik hukuman dan ancaman ikut menyertai penerapan kedua metode ini. ‘’Karena bagaikan pisau bermata dua, meski kita menggunakan untuk tujuan yang baik seringkali cara ini malah menciptakan kebiasaan atau perilaku buruk, misal anak mencari perhatian atau bahkan dendam,’’ paparnya.

Umumnya, dia melanjutkan, dari penerapan treat orangtua mudah masuk ke dalam train. Contoh, belajar jalan dari dipegangi kemudian terlatih berjalan sendiri.

Menurut psikolog Dini Andrini dari Cikal Sehat-Sehat, metode treat diterapkan berupa perlakuan atau pembiasaan sehari-hari tanpa ada kondisi khusus tertentu. Sedangkan, train diterapkan dengan melakukan pengkondisian terlebih dahulu untuk melatih atau mengembangkan sikap atau nilai tertentu pada anak. Contoh, untuk mengatasi anak yang impulsif (suka merebut mainan), orangtua membuat games keluarga khusus, atau untuk meningkatkan keimanan maka anak dimasukkan ke pesantren. ‘’Namun, kedua metode ini sama-sama penting diterapkan sebagai kombinasi pengasuhan. Jadi, aplikasinya sangat tergantung pada berbagai hal, misal, nilai yang dianut keluarga, sifat orangtua, karakter dan kondisi anak, situasi dan kondisi, dan lainnya,’’ papar Dini.

Dini menambahkan, metode treat sudah dapat diterapkan sejak anak lahir dan train mulai pada usia sekitar 8 bulan. Metode train dapat kemudian dapat dikombinasi dengan penerapan treat untuk kian membiasakan anak pada kegiatan tertentu. ‘’Misal, melatih anak makan di meja makan, mulanya agak dipaksa, lama-kelamaan menjadi kebiasaan dan dia mau makan di meja makan karena ada semacam reward berupa waktu berkumpul bersama dengan keluarga di meja makan,’’ katanya. Sebaliknya, metode treat kemudian dapat menjadi train. Misal, mengubah pola tidur anak yang biasa tidur larut malam. ‘’Semula anak diperbolehkan nonton tv bila belum mengantuk, kemudian di-train harus masuk kamar tidur jam 9 walaupun belum mengantuk,’’ ujar Dini.

Dr William Sears, dokter spesialis anak dari AS, dalam bukunya The Baby Book memaparkan kritiknya tentang pola pe-ngasuhan orangtua berdasarkan jadwal ketat untuk waktu makan bayinya. “Terlalu ekstrim karena bayi akan kehilangan momen-momen bernilai seperti komunikasi ketika orangtua menyuapinya makan,’’ katanya. Sedangkan, sambung Sears, orangtua juga kehilangan kemampuannya untuk membaca respon dari anaknya. “Keadaan ini akan berkembang menjadi timbulnya jarak antara anak dan orangtua, padahal pada masa ini Ibu perlu mengenal lebih jauh si anak,” imbuhnya.

Jika orangtua mengenal karakter anak akan dapat membantu anak menata dirinya dengan lebih tepat. Karenanya, perlu dikembangkan komunikasi yang terbuka antara orangtua dan anak untuk mengetahui harapan masing-masing pihak. Tak ada salahnya dibuat komitmen bersama dengan segala konsekuensinya. Sehingga orangtua bisa menerapkan pengasuhan yang lebih efektif dengan tetap menghargai kelebihan dan kekurangan anak.

’’Di dalam keluarga harus ada budaya teratur. Ini kuncinya,’’ papar Indri. Sehingga anak akan melakukan dan mengikuti pola di dalam keluarga. Misalnya, saat anak berusia 6 tahun tetap diusahakan mengurus keperluannya sendiri seperti menyiapkan baju sekolah atau membereskan tempat tidur meski sudah ada pembantu. Penerapan disiplin bisa menentukan keberhasilan pembentukkan perilaku.

Tips Orangtua mendidik tanpa perlu mengancam

1. Cintailah anak dengan Bijaksana. Cinta atau kasih sayang adalah energi paling besar yang dapat membantu anak mengatasi masalah. Jadi, terapkan disiplin dengan kasih sayang. “Mencintai anak berarti mengenali sebenar-benarnya anak kita,” ujarnya.

2. Libatkan anak dan jadikan orangtua sebagai teladan (contoh). Ajak anak dalam menanamkan kebiasaan. Contoh, jika ingin anak membereskan makanan setelah makan, ajak anak ikut membantu dengan memisahkan sisa makanan ke tempat sampah, lalu letakkan di tempat cucian. “Akan beda kalau kita hanya bilang ‘Adik....ayo bawa piring kotor ke belakang’,” katanya.

3. Kreatif. Anak hakekatnya bersifat emosi dan moody begitu pun orang dewasa. Artinya malas atau tidak mood adalah manusiawi. Jadi orangtua harus kreatif menemukan solusi dalam penanaman kebiasaan anak.

4. Kompak. Penanaman kebiasaan di rumah memerlukan kekompakkan ayah-ibu, pengasuh, kakak-adik, and seluruh keluarga.

5. Lakukan disiplin dengan konteks gembira.