January
12
Hampir bisa dipastikan tak satu pun orang yang tak mengenal gitar. Dari kelas murah sampai yang mahal pun ada konsumennya.
"Kemarau panjang kapankah akan kudengar lagi. Nyanyian angin dan denting gitarmu.” …
Sepenggar syair Ebiet G. Ade yang begitu puitis, seolah bermaksud mengingatkan betapa akrab hubungan manusia dengan gitar. Peluang ini membuat Sardiyono tanpa ragu menjadikan profesi pembuat gitar sebagai pilihan hidupnya. Hasilnya, …. lariiiiissss!!
Ketika menginjak bangku SMP, Sardiyono diajari bermain gitar oleh guru sekolahnya. Pengalaman itu terus membekas dalam benak pria asal Wonogiri tersebut, sampai akhirnya ia terobsesi untuk mendalami kemampuan bermain gitar. Pada tahun 1997, ia memutuskan ikut kursus membuat gitar di Solo selama 2 tahun.
Selepas kursus, mantaplah langkah Sardiyono untuk menjadi pembuat gitar. Bermodalkan uang Rp 15 juta untuk membeli alat-alat, Sardi merekrut 3 orang karyawan untuk membantunya memproduksi gitar akustik dan elektrik, yang diberi merek Irvita.
“Masing-masing karyawan mempunyai tugas sendiri-sendiri. Misalnya, ada yang bagian membuat bodi atau mengecat gitar. Memang sengaja dibuat begitu agar tiap karyawan punya keahlian tersendiri,” ungkap pria yang biasa dipanggil Sardi ini ramah.
Langkah untuk membuat gitar akustik dan elektrik, lanjut Sardi, tidak sama. Jika membuat gitar akustik, pertama, bahan gitar dicetak agar terbentuk bodi yang lebih umum disebut gembungan. Setelah gembungan jadi, baru dibuat setang gitar dan bagian penunjang yang lain. Pada gitar mahal, pinggirnya akan dibentuk siluet, sementara jika gitarnya dijual dengan harga standar, maka langsung dicat.
Sedang untuk membuat gitar elektrik, tidak melalui pencetakan, melainkan dengan dibuatkan mal, seperti proses laiknya membuat baju, yang diteruskan memotong bahan sesuai bentuk mal itu.
“Tidak ada perbedaan mendasar sih antara membuat gitar akustik dan elektrik, cuma tidak sama saat mengawali saja. Setelah itu prosesnya sama hingga finishing,” jelas Sardi.
Sardi membuat berbagai jenis gitar akustik, mulai yang berharga Rp 135 ribu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Gitar yang paling murah biasanya dicari anak-anak SMP untuk belajar di sekolahnya atau dipilih anak-anak muda untuk mengamen dan nongkrong di pinggir jalan. Kadang-kadang ada juga yang memesan gitar jumbo seharga Rp 450 ribu. Sardi memberi garansi, gitar yang harganya di atas Rp 200 ribu akan mempunyai ketahanan di atas 3 tahun karena dibuat dari bahan-bahan pilihan. Sedang untuk gitar elektrik, Sardi mematok harga berdasarkan kualitas. Harga Rp 300 ribu untuk kualitas 3, kualitas 2 diberi bandrol Rp 1,2 juta dan Rp 1,7 juta untuk kualitas 1.
“Baru-baru ini, saya mendapat pesanan dari seorang guru musik di Bali untuk gitar elektrik kualitas satu. Guru musik itu sekaligus merupakan eksportir, sehingga rencananya gitar bikinan saya dipasarkan keluar negeri,” cetusnya bangga.
Bahan-bahan untuk membuat gitar, diperoleh Sardi dengan mudah di sekitar Wonogiri. Bahan utama berupa triplek dan kayu. Jenis kayu yang dipakai antara lain sonokeling, mahoni, sengon laut dan jati. Namun penggunaan kayu jati hanya untuk pembuatan gitar akustik kelas 1 saja.
Dengan dibantu 3 karyawan, Sardi mampu memproduksi gitar 10 lusin per bulan. Jika pesanan sedang membludak, Sardi biasanya menghubungi mitra kerjanya sehingga pesanan bisa selesai tepat waktu.
“Penggajian yang saya terapkan, karyawan menerima uang rata-rata Rp 20 ribu per hari. Jadi sebulan akan menerima Rp 600 ribu,” urai Sardi yang membuka workshop di Desa Sumberejo RT. 01, RW. 04, Kel. Karanglor, Manyaran, Wonogiri.
Menyinggung soal promosi, Sardi mengaku selama ini mengandalkan kerja sama dengan sekolah-sekolah. Beberapa sekolah yang ditawari bekerja sama, ternyata menyambut baik. Tak pelak pesanan gitar mengalir lancar kepada Sardi.
Selain penawaran ke sekolah, sejak dua tahun silam Sardi juga aktif mengikuti Pesta Kesenian Bali. Tak dinyana, dalam setiap pameran, gitar buatannya selalu ludes terjual. Sampai Sardi harus mengambil stok lagi dari Wonogiri agar stand tidak kosong. “Pokoknya, saya optimis gitar buatan saya siap bersaing karena kualitasnya memang bagus. Harapan saya sih, semoga pasar gitar saya secepatnya mampu menembus luar negeri,” harapnya dengan mata berbinar.
"Kemarau panjang kapankah akan kudengar lagi. Nyanyian angin dan denting gitarmu.” …
Sepenggar syair Ebiet G. Ade yang begitu puitis, seolah bermaksud mengingatkan betapa akrab hubungan manusia dengan gitar. Peluang ini membuat Sardiyono tanpa ragu menjadikan profesi pembuat gitar sebagai pilihan hidupnya. Hasilnya, …. lariiiiissss!!
Ketika menginjak bangku SMP, Sardiyono diajari bermain gitar oleh guru sekolahnya. Pengalaman itu terus membekas dalam benak pria asal Wonogiri tersebut, sampai akhirnya ia terobsesi untuk mendalami kemampuan bermain gitar. Pada tahun 1997, ia memutuskan ikut kursus membuat gitar di Solo selama 2 tahun.
Selepas kursus, mantaplah langkah Sardiyono untuk menjadi pembuat gitar. Bermodalkan uang Rp 15 juta untuk membeli alat-alat, Sardi merekrut 3 orang karyawan untuk membantunya memproduksi gitar akustik dan elektrik, yang diberi merek Irvita.
“Masing-masing karyawan mempunyai tugas sendiri-sendiri. Misalnya, ada yang bagian membuat bodi atau mengecat gitar. Memang sengaja dibuat begitu agar tiap karyawan punya keahlian tersendiri,” ungkap pria yang biasa dipanggil Sardi ini ramah.
Langkah untuk membuat gitar akustik dan elektrik, lanjut Sardi, tidak sama. Jika membuat gitar akustik, pertama, bahan gitar dicetak agar terbentuk bodi yang lebih umum disebut gembungan. Setelah gembungan jadi, baru dibuat setang gitar dan bagian penunjang yang lain. Pada gitar mahal, pinggirnya akan dibentuk siluet, sementara jika gitarnya dijual dengan harga standar, maka langsung dicat.
Sedang untuk membuat gitar elektrik, tidak melalui pencetakan, melainkan dengan dibuatkan mal, seperti proses laiknya membuat baju, yang diteruskan memotong bahan sesuai bentuk mal itu.
“Tidak ada perbedaan mendasar sih antara membuat gitar akustik dan elektrik, cuma tidak sama saat mengawali saja. Setelah itu prosesnya sama hingga finishing,” jelas Sardi.
Sardi membuat berbagai jenis gitar akustik, mulai yang berharga Rp 135 ribu, Rp 200 ribu hingga Rp 300 ribu. Gitar yang paling murah biasanya dicari anak-anak SMP untuk belajar di sekolahnya atau dipilih anak-anak muda untuk mengamen dan nongkrong di pinggir jalan. Kadang-kadang ada juga yang memesan gitar jumbo seharga Rp 450 ribu. Sardi memberi garansi, gitar yang harganya di atas Rp 200 ribu akan mempunyai ketahanan di atas 3 tahun karena dibuat dari bahan-bahan pilihan. Sedang untuk gitar elektrik, Sardi mematok harga berdasarkan kualitas. Harga Rp 300 ribu untuk kualitas 3, kualitas 2 diberi bandrol Rp 1,2 juta dan Rp 1,7 juta untuk kualitas 1.
“Baru-baru ini, saya mendapat pesanan dari seorang guru musik di Bali untuk gitar elektrik kualitas satu. Guru musik itu sekaligus merupakan eksportir, sehingga rencananya gitar bikinan saya dipasarkan keluar negeri,” cetusnya bangga.
Bahan-bahan untuk membuat gitar, diperoleh Sardi dengan mudah di sekitar Wonogiri. Bahan utama berupa triplek dan kayu. Jenis kayu yang dipakai antara lain sonokeling, mahoni, sengon laut dan jati. Namun penggunaan kayu jati hanya untuk pembuatan gitar akustik kelas 1 saja.
Dengan dibantu 3 karyawan, Sardi mampu memproduksi gitar 10 lusin per bulan. Jika pesanan sedang membludak, Sardi biasanya menghubungi mitra kerjanya sehingga pesanan bisa selesai tepat waktu.
“Penggajian yang saya terapkan, karyawan menerima uang rata-rata Rp 20 ribu per hari. Jadi sebulan akan menerima Rp 600 ribu,” urai Sardi yang membuka workshop di Desa Sumberejo RT. 01, RW. 04, Kel. Karanglor, Manyaran, Wonogiri.
Menyinggung soal promosi, Sardi mengaku selama ini mengandalkan kerja sama dengan sekolah-sekolah. Beberapa sekolah yang ditawari bekerja sama, ternyata menyambut baik. Tak pelak pesanan gitar mengalir lancar kepada Sardi.
Selain penawaran ke sekolah, sejak dua tahun silam Sardi juga aktif mengikuti Pesta Kesenian Bali. Tak dinyana, dalam setiap pameran, gitar buatannya selalu ludes terjual. Sampai Sardi harus mengambil stok lagi dari Wonogiri agar stand tidak kosong. “Pokoknya, saya optimis gitar buatan saya siap bersaing karena kualitasnya memang bagus. Harapan saya sih, semoga pasar gitar saya secepatnya mampu menembus luar negeri,” harapnya dengan mata berbinar.
3 Comments
atau jawab di gmail : jomadialghazali@gmail.com