Kegandrungan orang kepada karya seni tradisional memberi peluang Wayan untuk terus meraup keuntungan.

Salah besar jika ada yang bilang topeng seram dan menakutkan tidak bisa dijadikan lahan bisnis! Buktinya, Wayan Suwija berhasil membalikkan mitos itu dan sukses menggeluti usaha wayang dan topeng barong. Bagaimana kiatnya agar bisnisnya terus eksis?

Usaha yang digeluti Wayan Suwija, merupakan bisnis yang sudah turun-temurun di kalangan keluarganya. Makanya tidak heran, semenjak kecil, sekitar umur 6 tahun, Wayan sudah tidak asing dengan wayang dan berbagai jenis topeng. Bahkan, usai pulang sekolah, tanpa disuruh pun, ia dengan senang hati akan membantu ayah atau karyawan yang sedang bekerja.
Membuat wayang, ungkap pria bapak dua anak itu, memerlukan ketelitian dalam pengerjaan. Wayang terbuat dari kulit sapi. Mula-mula, kulit sapi dibersihkan, kemudian dihaluskan. Dilanjutkan dengan disket untuk membuat pola wayang, yang diteruskan dengan diukir serta diwarnai. Proses terakhir, kulit sapi yang sudah diukir itu dirakit dalam proses finishing.
“Banyak sekali jenis wayang yang kami buat. Ada Panca Pandawa, Wisnu Murti, Lodra Murti, Kayon, Kresna, Rama, Siwa, Acintya dan lainnya. Totalnya ada 125 jenis wayang. Harga wayang yang diperuntukkan anak-anak adalah Rp 15 ribu per buah, sedang wayang ukuran standar Rp 175 – Rp 600 ribu per buah. Ada juga wayang untuk orang yang latihan mendalang, harganya Rp 75 ribu per buah. Bentuknya sederhana saja karena untuk latihan,” ungkap Wayan panjang lebar.

Pengerjaan wayang, bisa makan waktu hingga seminggu. Jika modelnya gampang, memang satu orang bisa membuat hingga tujuh buah wayang dalam sehari. Namun jika modelnya rumit, satu wayang bisa dikerjakan dalam tempo seminggu.
Dibantu tujuh karyawan, selain wayang, Wayan pun berkreasi membuat berbagai macam topeng, yang kesemuanya berjumlah 19 jenis. Topeng buatan Wayan meliputi Dalem, Sidakarya, Patih, Topeng Tua, Topeng Pedanda, Bondres, Dukuh, Cungih, Bengor dan Wijil. Selain itu, juga ada topeng barong dan rangda yang bentuknya begitu menyeramkan karena penampilannya yang sangar dengan mata melotot dengan gigi bertaring.
Masing-masing karyawan, jelas Wayan, sudah mempunyai spesialisasi tersendiri. Kalau bertugas membuat topeng, maka seterusnya demikian. Begitu pula jika bagian membikin wayang, maka tidak akan mengerjakan yang lain lagi.
“Sistem gaji yang diberlakukan adalah model borongan. Ya, paling tidak perhari karyawan akan mendapat Rp 50 ribu. Jam kerja dari jam 8.00 – 16.00 (wita),” Wayan menjelaskan.

Suami dari Wayan Astiti ini lebih jauh menceritakan, untungnya bahan baku dapat dengan mudah diperoleh sehingga tidak sampai harus memesan di luar Bali. Bahan untuk membuat topeng, yakni kayu pule, bisa didapat di sekitar tempat tinggalnya. Kelebihan menggunakan kayu pule, jenisnya amat cocok dibuat topeng. Selain mudah dibentuk, juga kuat dan mempunyai taksu tersendiri. Kayu pule sudah lazim dipakai untuk membuat topeng yang disakralkan.

Berhubung jenis kayu yang dipakai membuat topeng bukan jenis sembarangan, tidak heran kalau harganya tidak murah. Ini pula yang menyebabkan topeng yang sudah jadi harganya juga tergolong mahal. Tidak hanya itu, tingginya harga topeng juga disebabkan waktu pengerjaannya yang tergolong lama. Satu topeng barong, misalnya, rata-rata menghabiskan waktu pengerjaan selama sebulan.
“Topeng barong rata-rata dikasih bandrol harga Rp 2,5 juta. Kualitasnya memang bagus sih. Bahannya kayu pule dan rambutnya asli rambut manusia. Selain itu juga memakai batu permata. Cat yang digunakan jenis cat akrilik,” ujar Wayan yang mengaku untung bersihnya setiap bulan Rp 6 juta.

Untuk mendongkrak usahanya, selama ini Wayan membuka art shop di Taman Budaya Art Centre dan sudah mengikuti ajang kesenian yang digelar tahunan di Bali selama 9 kali. Langkah Wayan ternyata jitu. Beberapa kali konsumen asing yang berasal dari Perancis dan Australia terkagum-kagum melihat hasil karyanya sehingga langsung memborong untuk dipakai sebagai kenang-kenangan. Kalau orang lokal, selain membeli wayang dan topeng untuk dekorasi, juga ada yang sengaja memesan sebagai benda sakral untuk dipajang di pura.