January
12
Dana yang diperuntukkan kaum miskin, zakat, infaq ataupun apapun namanya, seringkali meleset dari sasaran. Memperbaiki kondisi seperti ini merupakan salah satu kontribusi Rumah Zakat Indonesia (RZI). Russanti Lubis
Ke mana ya larinya dana zakat, infaq, atau sedekah yang kita berikan? Meski cuma selintas, tentu pertanyaan semacam ini pernah muncul di dalam hati atau benak kita. Apalagi, kita mengetahui dengan pasti bahwa pengertian kaum dhuafa di Indonesia ini masih rancu, sehingga mereka yang seharusnya berhak atas dana tersebut justru tidak menerima, sebaliknya yang seharusnya tidak menerima malah mendapat berlipat-lipat.
Di sisi lain, juga muncul pertanyaan apakah tempat-tempat kita biasa menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah itu sudah layak untuk menyalurkannya? Kalau iya, lalu untuk apa lagi dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS)? Sekadar informasi, menurut Undang-Undang No. 38/1999 (undang-undang tentang pengelolaan zakat, red.) terdapat dua lembaga yang mengelola zakat yaitu BAZNAS yang dikelola oleh pemerintah dan LAZNAS yang berstatus lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saat ini diperkirakan terdapat 400 LAZNAS, salah satunya yaitu Rumah Zakat Indonesia (RZI).
Begitu banyaknya LSM semacam ini di bumi nusantara, tentu akan menimbulkan pertanyaan baru lagi yaitu apakah ini sebuah “bisnis” baru yang basah. “Bukan! Kami hanyalah jembatan antara si kaya dengan si miskin. Ibarat pajak dalam struktur kenegaraan, dalam struktur keagamaan juga terdapat keharusan bagi pihak-pihak tertentu untuk mengeluarkan sebagian harta mereka yang disebut zakat, infaq, dan sedekah. Agar ‘pajak’ ini dapat disalurkan dengan cara dan kepada orang yang benar, sehingga si penerima lambat laun akan meningkat taraf hidup mereka atau tidak akan menjadi penerima selamanya, di situlah kami berada dan bertugas,” jelas Virda Dimas Ekaputra, Chief Executive Officer RZI.
Namun, Virda tak menampik bila LSM semacam ini dipersepsikan sebagai “bisnis” yang basah mengingat menurut peraturan para ulama fiqih, setiap LAZNAS diperkenankan mengambil 12,5% dari dana yang dihimpun untuk membiayai karyawan, operasional, dan pengembangan lembaga. “Bebas pajak lagi, karena semua program yang ditawarkan kepada masyarakat itu gratis,” kata pria yang membawahi 430 karyawan ini. Sekadar informasi, RZI yang pada awal berdirinya (1998) di Bandung merupakan lembaga sosial yang konseren pada bantuan kemanusiaan dengan nama Dompet Sosial Ummul Quro, tahun lalu mampu menghimpun dana sebesar Rp54 milyar.
Di satu sisi, ia melanjutkan, dulu zakat yang diberikan masyarakat tidak difasilitasi oleh lembaga tertentu, hanya dilakukan oleh baitul mal. Di sisi lain, menyalurkan zakat secara langsung kepada yang berhak juga tidak dilarang, meski lebih baik bila disalurkan ke lembaga yang berwenang. “Apakah lembaga tersebut dapat dipercaya atau tidak tergantung kepada bagaimana lembaga tersebut membangun citranya,” katanya.
RZI yang mulai tahun 2000 melakukan pemekaran dengan membuka cabang di Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Tangerang, Pekanbaru, Aceh, Medan, Padang, Palembang, Batam, dan Semarang, tidak pernah meminta zakat, infaq, atau sedekah kepada masyarakat, tetapi membuat berbagai program dan kemudian menawarkannya kepada mereka untuk didanai. “Selanjutnya, kami melaporkan berapa banyak dana yang telah mereka sumbangkan dan untuk apa saja, lewat situs pribadi atau majalah in house yang kami terbitkan secara berkala,” ujarnya. LSM yang memiliki lebih dari 41.000 donatur yang tersebar ke seluruh penjuru tanah air, Malaysia, Singapura, Jepang, Australia, Amerika, dan Timur Tengah ini menawarkan dana terikat di mana donatur akan memilih salah satu atau beberapa program yang ditawarkan untuk didanai. Juga dana tak terikat di mana donatur akan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan dananya kepada lembaga yang didirikan oleh Abu Syauqi dan rekan-rekannya ini.
Program-program yang digulirkan RZI mencakup EduCare (beasiswa SD–SMA, Kids Learning Centre, Pelatihan & Pengembangan Potensi Anak, dan Sekolah Juara), HealthCare (rumah bersalin gratis, mobil jenazah gratis, mobil klinik keliling gratis, dan lain-lain), YouthCare (pengembangan kepemudaan atau relawan dalam program Siaga Sehat dan Siaga Bencana), dan EcoCare (layanan pembinaan UKM melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah). “Total hingga Mei 2007, lewat program-program ini sekitar 100.000 orang telah terbantu!” tegasnya.
Lantas, siapa yang berhak mendapat zakat, infaq, atau sedekah ini? “Kami membuat batasan tentang siapa yang dikategorikan kaum dhuafa, berdasarkan upah minimum propinsi (UMP). Bagi anggota masyarakat yang berpenghasilan kurang dari 50% UMP kami kategorikan fakir, sedangkan bagi mereka yang berpendapatan lebih dari 50% tetapi kurang dari 100% UMP kami golongkan miskin. Untuk mengetahui dengan pasti apakah mereka benar-benar fakir miskin, sehingga dapat menggunakan fasilitas-fasilitas yang kami sediakan secara gratis, kami melakukan semacam survai. Di sisi lain, siapa pun diperbolehkan menggunakan berbagai fasilitas kami tanpa memandang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan, red.). Sebab, inti dari zakat, infaq, dan sedekah adalah berbagi. Berbagi dapat dilakukan oleh siapa pun dan untuk siapa pun,” jelasnya.
Ke depannya, RZI yang memiliki fasilitas layanan jemput zakat gratis, autodebet, transfer via ATM, autozakat (bayar zakat via sms berbasis kartu kredit, red.), sms donasi, konsultasi zakat dan keislaman via sms center, Z-report (laporan rekam transaksi yang bisa dilihat secara online di website, red.) berencana hadir di kota-kota besar, khususnya di kawasan timur Indonesia. Selain itu, mendirikan rumah bersalin gratis dan lembaga keuangan Mikro Syariah di 10 kota besar.
Lembaga keuangan ini memberi tambahan modal kepada para pengusaha UKM sebesar Rp500 ribu hingga Rp25 juta. “Kami juga sedang berkampanye tentang kesadaran berzakat (baca: berbagi, red.) sebagai sebuah gaya hidup,” ucapnya. Selama ini kita menjalani gaya hidup duniawi, agar terjadi keseimbangan hidup, apa salahnya kita pun menjalani gaya hidup yang bersifat akhirati. Jadi, yuk berbagi.
Ke mana ya larinya dana zakat, infaq, atau sedekah yang kita berikan? Meski cuma selintas, tentu pertanyaan semacam ini pernah muncul di dalam hati atau benak kita. Apalagi, kita mengetahui dengan pasti bahwa pengertian kaum dhuafa di Indonesia ini masih rancu, sehingga mereka yang seharusnya berhak atas dana tersebut justru tidak menerima, sebaliknya yang seharusnya tidak menerima malah mendapat berlipat-lipat.
Di sisi lain, juga muncul pertanyaan apakah tempat-tempat kita biasa menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah itu sudah layak untuk menyalurkannya? Kalau iya, lalu untuk apa lagi dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS)? Sekadar informasi, menurut Undang-Undang No. 38/1999 (undang-undang tentang pengelolaan zakat, red.) terdapat dua lembaga yang mengelola zakat yaitu BAZNAS yang dikelola oleh pemerintah dan LAZNAS yang berstatus lembaga swadaya masyarakat (LSM). Saat ini diperkirakan terdapat 400 LAZNAS, salah satunya yaitu Rumah Zakat Indonesia (RZI).
Begitu banyaknya LSM semacam ini di bumi nusantara, tentu akan menimbulkan pertanyaan baru lagi yaitu apakah ini sebuah “bisnis” baru yang basah. “Bukan! Kami hanyalah jembatan antara si kaya dengan si miskin. Ibarat pajak dalam struktur kenegaraan, dalam struktur keagamaan juga terdapat keharusan bagi pihak-pihak tertentu untuk mengeluarkan sebagian harta mereka yang disebut zakat, infaq, dan sedekah. Agar ‘pajak’ ini dapat disalurkan dengan cara dan kepada orang yang benar, sehingga si penerima lambat laun akan meningkat taraf hidup mereka atau tidak akan menjadi penerima selamanya, di situlah kami berada dan bertugas,” jelas Virda Dimas Ekaputra, Chief Executive Officer RZI.
Namun, Virda tak menampik bila LSM semacam ini dipersepsikan sebagai “bisnis” yang basah mengingat menurut peraturan para ulama fiqih, setiap LAZNAS diperkenankan mengambil 12,5% dari dana yang dihimpun untuk membiayai karyawan, operasional, dan pengembangan lembaga. “Bebas pajak lagi, karena semua program yang ditawarkan kepada masyarakat itu gratis,” kata pria yang membawahi 430 karyawan ini. Sekadar informasi, RZI yang pada awal berdirinya (1998) di Bandung merupakan lembaga sosial yang konseren pada bantuan kemanusiaan dengan nama Dompet Sosial Ummul Quro, tahun lalu mampu menghimpun dana sebesar Rp54 milyar.
Di satu sisi, ia melanjutkan, dulu zakat yang diberikan masyarakat tidak difasilitasi oleh lembaga tertentu, hanya dilakukan oleh baitul mal. Di sisi lain, menyalurkan zakat secara langsung kepada yang berhak juga tidak dilarang, meski lebih baik bila disalurkan ke lembaga yang berwenang. “Apakah lembaga tersebut dapat dipercaya atau tidak tergantung kepada bagaimana lembaga tersebut membangun citranya,” katanya.
RZI yang mulai tahun 2000 melakukan pemekaran dengan membuka cabang di Yogyakarta, Jakarta, Surabaya, Tangerang, Pekanbaru, Aceh, Medan, Padang, Palembang, Batam, dan Semarang, tidak pernah meminta zakat, infaq, atau sedekah kepada masyarakat, tetapi membuat berbagai program dan kemudian menawarkannya kepada mereka untuk didanai. “Selanjutnya, kami melaporkan berapa banyak dana yang telah mereka sumbangkan dan untuk apa saja, lewat situs pribadi atau majalah in house yang kami terbitkan secara berkala,” ujarnya. LSM yang memiliki lebih dari 41.000 donatur yang tersebar ke seluruh penjuru tanah air, Malaysia, Singapura, Jepang, Australia, Amerika, dan Timur Tengah ini menawarkan dana terikat di mana donatur akan memilih salah satu atau beberapa program yang ditawarkan untuk didanai. Juga dana tak terikat di mana donatur akan menyerahkan sepenuhnya pengelolaan dananya kepada lembaga yang didirikan oleh Abu Syauqi dan rekan-rekannya ini.
Program-program yang digulirkan RZI mencakup EduCare (beasiswa SD–SMA, Kids Learning Centre, Pelatihan & Pengembangan Potensi Anak, dan Sekolah Juara), HealthCare (rumah bersalin gratis, mobil jenazah gratis, mobil klinik keliling gratis, dan lain-lain), YouthCare (pengembangan kepemudaan atau relawan dalam program Siaga Sehat dan Siaga Bencana), dan EcoCare (layanan pembinaan UKM melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah). “Total hingga Mei 2007, lewat program-program ini sekitar 100.000 orang telah terbantu!” tegasnya.
Lantas, siapa yang berhak mendapat zakat, infaq, atau sedekah ini? “Kami membuat batasan tentang siapa yang dikategorikan kaum dhuafa, berdasarkan upah minimum propinsi (UMP). Bagi anggota masyarakat yang berpenghasilan kurang dari 50% UMP kami kategorikan fakir, sedangkan bagi mereka yang berpendapatan lebih dari 50% tetapi kurang dari 100% UMP kami golongkan miskin. Untuk mengetahui dengan pasti apakah mereka benar-benar fakir miskin, sehingga dapat menggunakan fasilitas-fasilitas yang kami sediakan secara gratis, kami melakukan semacam survai. Di sisi lain, siapa pun diperbolehkan menggunakan berbagai fasilitas kami tanpa memandang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan, red.). Sebab, inti dari zakat, infaq, dan sedekah adalah berbagi. Berbagi dapat dilakukan oleh siapa pun dan untuk siapa pun,” jelasnya.
Ke depannya, RZI yang memiliki fasilitas layanan jemput zakat gratis, autodebet, transfer via ATM, autozakat (bayar zakat via sms berbasis kartu kredit, red.), sms donasi, konsultasi zakat dan keislaman via sms center, Z-report (laporan rekam transaksi yang bisa dilihat secara online di website, red.) berencana hadir di kota-kota besar, khususnya di kawasan timur Indonesia. Selain itu, mendirikan rumah bersalin gratis dan lembaga keuangan Mikro Syariah di 10 kota besar.
Lembaga keuangan ini memberi tambahan modal kepada para pengusaha UKM sebesar Rp500 ribu hingga Rp25 juta. “Kami juga sedang berkampanye tentang kesadaran berzakat (baca: berbagi, red.) sebagai sebuah gaya hidup,” ucapnya. Selama ini kita menjalani gaya hidup duniawi, agar terjadi keseimbangan hidup, apa salahnya kita pun menjalani gaya hidup yang bersifat akhirati. Jadi, yuk berbagi.
1 Comments
jzklh