January
12
Pada dasarnya, setiap orang dapat menjalankan bisnis yang sama. Tapi, dalam perjalanannya, tak semuanya mampu bertahan dari gempuran berbagai masalah yang muncul. Ada yang langsung ngambek dan akhirnya putus di tengah jalan. Ada pula yang banting setir dengan mengikuti tren atau selera pasar, sehingga menghilangkan ciri khas produknya. Faktanya, kiat ini tidak selalu jitu, malah membuat bisnis tidak fokus dan konsumen setia berpaling karena bi-ngung tidak lagi mendapatkan produk favorit mereka. *
“Mungkin, inilah yang membedakan saya yang sampai sekarang masih eksis di bisnis kotak dan boks hantaran perkawinan dengan para pebisnis produk sejenis, meski sudah hampir 20 tahun berkutat di sini. Saya selalu fokus pada produk saya, walau kondisinya sedang naik turun,” kata Atilla, produsen kotak dan boks hantaran perkawinan berlabel Atilla.
Saat sedang sepi order, ia melanjutkan, jangan terpengaruh tren. “Tapi, galilah ide dan kreativitas sehingga muncul semangat dan optimisme lagi. Selain itu, juga memperbaiki pemasaran. Di akhir tahun menghubungi jaringan dan menawarkan produk dengan harga produsen. Pokoknya, jemput bola dan selalu berkreasi,” jelasnya. Ketika sedang ramai order, terimalah semua pesanan dan berusaha keras memenuhi semua pesanan itu. “Kalau perlu, kaki dijadikan kepala, kepala dijadikan kaki. Ingat! Kesempatan emas tidak pernah datang dua kali. Jika dibiarkan, ia akan berlalu begitu saja, apalagi persaingan di bidang ini ketat sekali,” imbuhnya.
Bisnis pembuatan kotak dan boks hantaran perkawinan, ia menambahkan, mempunyai prospek yang sangat bagus. Sebab, pasarnya sudah jelas dan banyak orang (dari berbagai kalangan) membutuhkan produk semacam ini. “Bukankah selama manusia itu masih hidup, maka selama itu pula perkawinan akan selalu ada. Di sisi lain, produk ini juga dapat beralih fungsi sebagai tempat apa pun, ketika fungsi utamanya sudah berakhir. Jadi, di sini tidak dikenal musim panen atau musim paceklik,” katanya.
Dengan demikian, harap maklum bila persaingan di bisnis ini dikatakan sangat ketat. Bagaimana kiat bertahan? “Saya tidak pernah memusingkan masalah persaingan. Karena, setiap konsumen mempunyai selera yang berbeda satu sama lain. Saya tidak bisa menggiring mereka agar selalu menyukai produk saya. Yang bisa saya lakukan hanya merengkuh jaringan seluas mungkin, dengan melayani konsumen sebaik mungkin dan membuatkan barang sesuai dengan keinginan mereka, dengan sesedikit mungkin masukan,” tambahnya.
Kebetulan kotak dan boks hantaran perkawinan Atilla yang berkonsep etnik ini, digemari konsumen. Produk yang ditawarkan dengan harga Rp25 ribu sampai Rp165 ribu dengan ukuran 25 cm x 25 cm hingga 50 cm x 60 cm ini, memang didesain dengan warna khas yaitu cokelat kusam dengan hiasan bunga kering dan aneka hiasan lain. Tapi, tidak berarti bisnis yang dibangun dengan modal awal Rp375 ribu ini, menolak pesanan dengan warna-warna ngejreng atau dari pelaku bisnis sejenis yang lalu menjual lagi produk tersebut, dengan mengganti labelnya atau telak-telak mengklaimnya sebagai produk buatan mereka. “Bagi Atilla, itu nggak masalah, sebab sudah beli putus,” ujarnya.
Mengikuti selera pasar, ia melanjutkan, tidak berarti pula strategi yang salah. Selain terus memproduksi boks dan kotak hantaran dalam aneka bentuk, ukuran, bahan, desain, warna, model, dan hiasan, Atilla juga terus membuat model kotak dan boks hantaran yang sama, selama konsumen masih menggemarinya. “Kadangkala gonta-ganti model atau terlalu cepat ganti model, malah membingungkan konsumen,” kilahnya.
Di samping itu, Atilla yang menjalankan bisnis ini dari bawah banget selalu siap dengan berbagai strategi, bila nantinya menghadapi masalah. “Jam terbang (baca: pengalaman) itu penting. Orang harus melewati satu demi satu jam terbang untuk membentuk mental. Mental yang kuat itu penting dalam bisnis apa pun, bukan cuma modal, keterampilan, dan jaringan,” ucapnya.
Saat lebaran, misalnya, itulah timingnya. Jika momen ini tidak dimanfaatkan, lewatlah sudah peluang itu. Sebab, Januari–Februari merupakan bulan-bulan yang sepi order. “Jadi, kalau pas banyak order, kami ambil kesempatan itu sehingga ketika mengalami sepi order, kami masih tetap dapat menjalankan bisnis ini. Karena, omset yang kami raup kala ramai order dapat kami jadikan modal untuk terus ‘berjalan’ di tahun berikutnya. Tapi, jangan diartikan ini aji mumpung, melainkan hanya memanfaatkan peluang tanpa menanggalkan kualitas produksi. Quality control tetap harus selalu dijaga untuk menghindari kekecewaan dan kemarahan pelanggan,” ujarnya.
Dalam home industry-nya yang seluas 500 m² di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dalam sehari 15 karyawan Atilla mampu membuat minimal 40 boks dan kotak hantaran. Di samping itu, melalui dua gerainya, dalam kondisi sepi Atilla menjual 10 kotak dan boks hantaran per bulan dan sembilan buah/hari atau 50 buah/minggu saat ramai, serta menerima pesanan dari 5–6 pelanggan yang masing-masing memesan minimal sembilan kotak atau boks. “Omset saya per bulan Rp10 juta–Rp15 juta per bulan,” imbuhnya. Bisnis yang “basah”, bukan?
“Mungkin, inilah yang membedakan saya yang sampai sekarang masih eksis di bisnis kotak dan boks hantaran perkawinan dengan para pebisnis produk sejenis, meski sudah hampir 20 tahun berkutat di sini. Saya selalu fokus pada produk saya, walau kondisinya sedang naik turun,” kata Atilla, produsen kotak dan boks hantaran perkawinan berlabel Atilla.
Saat sedang sepi order, ia melanjutkan, jangan terpengaruh tren. “Tapi, galilah ide dan kreativitas sehingga muncul semangat dan optimisme lagi. Selain itu, juga memperbaiki pemasaran. Di akhir tahun menghubungi jaringan dan menawarkan produk dengan harga produsen. Pokoknya, jemput bola dan selalu berkreasi,” jelasnya. Ketika sedang ramai order, terimalah semua pesanan dan berusaha keras memenuhi semua pesanan itu. “Kalau perlu, kaki dijadikan kepala, kepala dijadikan kaki. Ingat! Kesempatan emas tidak pernah datang dua kali. Jika dibiarkan, ia akan berlalu begitu saja, apalagi persaingan di bidang ini ketat sekali,” imbuhnya.
Bisnis pembuatan kotak dan boks hantaran perkawinan, ia menambahkan, mempunyai prospek yang sangat bagus. Sebab, pasarnya sudah jelas dan banyak orang (dari berbagai kalangan) membutuhkan produk semacam ini. “Bukankah selama manusia itu masih hidup, maka selama itu pula perkawinan akan selalu ada. Di sisi lain, produk ini juga dapat beralih fungsi sebagai tempat apa pun, ketika fungsi utamanya sudah berakhir. Jadi, di sini tidak dikenal musim panen atau musim paceklik,” katanya.
Dengan demikian, harap maklum bila persaingan di bisnis ini dikatakan sangat ketat. Bagaimana kiat bertahan? “Saya tidak pernah memusingkan masalah persaingan. Karena, setiap konsumen mempunyai selera yang berbeda satu sama lain. Saya tidak bisa menggiring mereka agar selalu menyukai produk saya. Yang bisa saya lakukan hanya merengkuh jaringan seluas mungkin, dengan melayani konsumen sebaik mungkin dan membuatkan barang sesuai dengan keinginan mereka, dengan sesedikit mungkin masukan,” tambahnya.
Kebetulan kotak dan boks hantaran perkawinan Atilla yang berkonsep etnik ini, digemari konsumen. Produk yang ditawarkan dengan harga Rp25 ribu sampai Rp165 ribu dengan ukuran 25 cm x 25 cm hingga 50 cm x 60 cm ini, memang didesain dengan warna khas yaitu cokelat kusam dengan hiasan bunga kering dan aneka hiasan lain. Tapi, tidak berarti bisnis yang dibangun dengan modal awal Rp375 ribu ini, menolak pesanan dengan warna-warna ngejreng atau dari pelaku bisnis sejenis yang lalu menjual lagi produk tersebut, dengan mengganti labelnya atau telak-telak mengklaimnya sebagai produk buatan mereka. “Bagi Atilla, itu nggak masalah, sebab sudah beli putus,” ujarnya.
Mengikuti selera pasar, ia melanjutkan, tidak berarti pula strategi yang salah. Selain terus memproduksi boks dan kotak hantaran dalam aneka bentuk, ukuran, bahan, desain, warna, model, dan hiasan, Atilla juga terus membuat model kotak dan boks hantaran yang sama, selama konsumen masih menggemarinya. “Kadangkala gonta-ganti model atau terlalu cepat ganti model, malah membingungkan konsumen,” kilahnya.
Di samping itu, Atilla yang menjalankan bisnis ini dari bawah banget selalu siap dengan berbagai strategi, bila nantinya menghadapi masalah. “Jam terbang (baca: pengalaman) itu penting. Orang harus melewati satu demi satu jam terbang untuk membentuk mental. Mental yang kuat itu penting dalam bisnis apa pun, bukan cuma modal, keterampilan, dan jaringan,” ucapnya.
Saat lebaran, misalnya, itulah timingnya. Jika momen ini tidak dimanfaatkan, lewatlah sudah peluang itu. Sebab, Januari–Februari merupakan bulan-bulan yang sepi order. “Jadi, kalau pas banyak order, kami ambil kesempatan itu sehingga ketika mengalami sepi order, kami masih tetap dapat menjalankan bisnis ini. Karena, omset yang kami raup kala ramai order dapat kami jadikan modal untuk terus ‘berjalan’ di tahun berikutnya. Tapi, jangan diartikan ini aji mumpung, melainkan hanya memanfaatkan peluang tanpa menanggalkan kualitas produksi. Quality control tetap harus selalu dijaga untuk menghindari kekecewaan dan kemarahan pelanggan,” ujarnya.
Dalam home industry-nya yang seluas 500 m² di Lebak Bulus, Jakarta Selatan, dalam sehari 15 karyawan Atilla mampu membuat minimal 40 boks dan kotak hantaran. Di samping itu, melalui dua gerainya, dalam kondisi sepi Atilla menjual 10 kotak dan boks hantaran per bulan dan sembilan buah/hari atau 50 buah/minggu saat ramai, serta menerima pesanan dari 5–6 pelanggan yang masing-masing memesan minimal sembilan kotak atau boks. “Omset saya per bulan Rp10 juta–Rp15 juta per bulan,” imbuhnya. Bisnis yang “basah”, bukan?
1 Comments