Permintaan dari berbagai penjuru terus berdatangan. Begitu juga permintaan masyarakat akan buah impor. Berminat?
Russanti Lubis
Anda tentu sudah mengetahui kalau harga buah-buahan impor, seperti yang dijual di super market itu itu sangat mahal. Padahal, kalau Anda tahu, pohonnya sudah ditanam di negeri ini selama bertahun-tahun bahkan mungkin berpuluh-puluh atau beratus-ratus tahun lalu. Selain itu, penggarapnya pun petani dalam negeri. Jadi, sebenarnya sudah tidak bisa lagi dibilang buah-buahan asli impor, apalagi dijual semahal buah impor. Ironisnya, kehidupan para petaninya tidak seberuntung hasil garapannya.
Berlatar belakang inilah, Mubin Usman, seorang petani dan pekebun yang memasok buah-buahan impor ke beberapa pasar, berusaha untuk menolong teman seprofesinya dengan menjual bibit pohon buah-buah impor (unggulan) dan bersertifikat. Profesi petani yang digelutinya selama bertahun-tahun, menjadikannya dia piawai dalam urusan budidaya bibit unggulan tersebut. Dia ingin memasyarakatkan bibit itu dan dijual ke para petani dengan harga murah. Produknya diberi label Wijaya Tani (WT). Anda akan mudah menemukannya, karena produk ini digelar di tiga tempat di kawasan Margonda, Depok.
“Yang dimaksud dengan unggulan di sini yaitu bila ditanam, maka buah-buahan yang tumbuh dijamin bagus,” ujar Mubin. Sedangkan maksud diberinya sertifikat yang dikeluarkan oleh BPSB (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih) Kabupaten Bogor, Jawa Barat, adalah bibit pohon buah-buahan terpilih yang ditanam sesuai dengan prosedur, tidak dicampuradukkan dengan bibit pohon buah yang sama tetapi berbeda varietas atau asal usulnya.
Sebagai unggulan, buah-buahan seperti Durian Monthong, Jambu Biji Getas, Mangga Hawaii, dan sebagainya, tentu mudah dipasarkan walau harganya tidak murah. Demikian pula dengan harga bibit pohonnya, meski sudah sejak lama sekali dikembangbiakkan di Indonesia. “Untuk membeli satu bibit pohon saja, seorang petani harus menjual seekor kambingnya,” Mubin mengibaratkan.
Berkaitan dengan itulah, suatu ketika ia membeli lima hingga enam bibit pohon buah-buahan “impor”, lalu diperbanyak dengan berbagai cara, dan akhirnya dijual ke para petani dengan harga miring. “Para petani tersebut bisa membeli bibit pohon buah-buahan seperti Jambu, Belimbing, dan Durian Bangkok misalnya, dengan harga murah,” kata Mubin. Sebagai contoh, misalnya, harga satu bibit pohon Lengkeng Vietnam atau Lengkeng Pingpong Rp250 ribu hingga Rp4 juta. Setelah diperbanyak WT, harganya paling mahal Rp 40 ribu/pohon dan kualitas buahnya tidak berkurang sama sekali, sehingga petani pun mampu membelinya. Atas usaha ini, produk bibit WT telah banyak menerima pesanan dari petani di seluruh Indonesia ini.
Lantas, dari mana bibit pohon buah-buahan “impor” ini diperoleh? Mubin mengaku, dia memperolehnya lewat membeli bibit unggulan lewat berbagai pameran dan mengumpulkannya saat bertandang ke luar negeri. Dia sebenarnya tidak berencana menjadi pedagang bibit pohon buah-buahan ‘impor’. Sebagai pedagang buah, Mubin hanya ingin agar semua pohon yang ditanam di Indonesia menghasilkan buah-buahan yang bagus, enak, dan murah pula harganya. Jadi, tidak perlu mengimpor. Di samping itu, juga ingin kehidupan para petani buah membaik. “Saya membeli saja bibit pohon buah unggulan yang dimiliki tetangga saya. Atau saat berkunjung ke Hawaii, secara iseng saya mengumpulkan biji mangga Hawaii,” ungkapnya. Dalam perkembangannya, mulai 1979 hingga 1982, dia sengaja berburu bibit pohon buah unggulan yang tumbuh dari Sabang hingga Merauke. Selain itu, dia juga membelinya melalui berbagai pameran tanaman. Setelah dibudidayakan, bibit tersebut dijual dengan harga Rp7 ribu (ukuran sangat kecil) hingga Rp400 ribu (sudah berbuah).
Namun, sepertinya cita-cita peraih penghargaan Satyalencana Wira Karya tahun 2004 dari presiden ini, tidak sepenuhnya terkabul mengingat buah impor tetap merajalela di Indonesia. Di samping itu, penjualan bibit pohon buah “impor” tidak selalu berjalan lancar. “Kalau pas laku ya sangat laku. Dalam arti, sehari bisa terjual dua hingga tiga pohon. Kalau pas sepi, satu pohon pun tak terjual dalam jangka waktu seminggu, bahkan di sini ada pohon yang sudah berumur dua tahun dan belum laku juga,” ucapnya.
Tapi, sebenarnya bukan itu titik perhatian Mubin. Dia menginginkan agar setiap orang bisa menanam pohon buah, sekali pun rumahnya tidak memiliki halaman. “Kan bisa menggunakan pot atau drum. Selain itu, jangan berpikir bahwa bisa jadi tidak akan sempat menikmati hasilnya, mengingat untuk berbuah dibutuhkan waktu relatif lama, tetapi berpikirlah bahwa tanaman tersebut nantinya akan tetap dapat bermanfaat, setidaknya bagi anak cucu kita.
Itung-itung sudah ninggalin warisan,” tambah peraih penghargaan Perintis Lingkungan Hidup Terbaik I Tingkat Provinsi Jawa Barat tahun 2002 ini.
Russanti Lubis
Anda tentu sudah mengetahui kalau harga buah-buahan impor, seperti yang dijual di super market itu itu sangat mahal. Padahal, kalau Anda tahu, pohonnya sudah ditanam di negeri ini selama bertahun-tahun bahkan mungkin berpuluh-puluh atau beratus-ratus tahun lalu. Selain itu, penggarapnya pun petani dalam negeri. Jadi, sebenarnya sudah tidak bisa lagi dibilang buah-buahan asli impor, apalagi dijual semahal buah impor. Ironisnya, kehidupan para petaninya tidak seberuntung hasil garapannya.
Berlatar belakang inilah, Mubin Usman, seorang petani dan pekebun yang memasok buah-buahan impor ke beberapa pasar, berusaha untuk menolong teman seprofesinya dengan menjual bibit pohon buah-buah impor (unggulan) dan bersertifikat. Profesi petani yang digelutinya selama bertahun-tahun, menjadikannya dia piawai dalam urusan budidaya bibit unggulan tersebut. Dia ingin memasyarakatkan bibit itu dan dijual ke para petani dengan harga murah. Produknya diberi label Wijaya Tani (WT). Anda akan mudah menemukannya, karena produk ini digelar di tiga tempat di kawasan Margonda, Depok.
“Yang dimaksud dengan unggulan di sini yaitu bila ditanam, maka buah-buahan yang tumbuh dijamin bagus,” ujar Mubin. Sedangkan maksud diberinya sertifikat yang dikeluarkan oleh BPSB (Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih) Kabupaten Bogor, Jawa Barat, adalah bibit pohon buah-buahan terpilih yang ditanam sesuai dengan prosedur, tidak dicampuradukkan dengan bibit pohon buah yang sama tetapi berbeda varietas atau asal usulnya.
Sebagai unggulan, buah-buahan seperti Durian Monthong, Jambu Biji Getas, Mangga Hawaii, dan sebagainya, tentu mudah dipasarkan walau harganya tidak murah. Demikian pula dengan harga bibit pohonnya, meski sudah sejak lama sekali dikembangbiakkan di Indonesia. “Untuk membeli satu bibit pohon saja, seorang petani harus menjual seekor kambingnya,” Mubin mengibaratkan.
Berkaitan dengan itulah, suatu ketika ia membeli lima hingga enam bibit pohon buah-buahan “impor”, lalu diperbanyak dengan berbagai cara, dan akhirnya dijual ke para petani dengan harga miring. “Para petani tersebut bisa membeli bibit pohon buah-buahan seperti Jambu, Belimbing, dan Durian Bangkok misalnya, dengan harga murah,” kata Mubin. Sebagai contoh, misalnya, harga satu bibit pohon Lengkeng Vietnam atau Lengkeng Pingpong Rp250 ribu hingga Rp4 juta. Setelah diperbanyak WT, harganya paling mahal Rp 40 ribu/pohon dan kualitas buahnya tidak berkurang sama sekali, sehingga petani pun mampu membelinya. Atas usaha ini, produk bibit WT telah banyak menerima pesanan dari petani di seluruh Indonesia ini.
Lantas, dari mana bibit pohon buah-buahan “impor” ini diperoleh? Mubin mengaku, dia memperolehnya lewat membeli bibit unggulan lewat berbagai pameran dan mengumpulkannya saat bertandang ke luar negeri. Dia sebenarnya tidak berencana menjadi pedagang bibit pohon buah-buahan ‘impor’. Sebagai pedagang buah, Mubin hanya ingin agar semua pohon yang ditanam di Indonesia menghasilkan buah-buahan yang bagus, enak, dan murah pula harganya. Jadi, tidak perlu mengimpor. Di samping itu, juga ingin kehidupan para petani buah membaik. “Saya membeli saja bibit pohon buah unggulan yang dimiliki tetangga saya. Atau saat berkunjung ke Hawaii, secara iseng saya mengumpulkan biji mangga Hawaii,” ungkapnya. Dalam perkembangannya, mulai 1979 hingga 1982, dia sengaja berburu bibit pohon buah unggulan yang tumbuh dari Sabang hingga Merauke. Selain itu, dia juga membelinya melalui berbagai pameran tanaman. Setelah dibudidayakan, bibit tersebut dijual dengan harga Rp7 ribu (ukuran sangat kecil) hingga Rp400 ribu (sudah berbuah).
Namun, sepertinya cita-cita peraih penghargaan Satyalencana Wira Karya tahun 2004 dari presiden ini, tidak sepenuhnya terkabul mengingat buah impor tetap merajalela di Indonesia. Di samping itu, penjualan bibit pohon buah “impor” tidak selalu berjalan lancar. “Kalau pas laku ya sangat laku. Dalam arti, sehari bisa terjual dua hingga tiga pohon. Kalau pas sepi, satu pohon pun tak terjual dalam jangka waktu seminggu, bahkan di sini ada pohon yang sudah berumur dua tahun dan belum laku juga,” ucapnya.
Tapi, sebenarnya bukan itu titik perhatian Mubin. Dia menginginkan agar setiap orang bisa menanam pohon buah, sekali pun rumahnya tidak memiliki halaman. “Kan bisa menggunakan pot atau drum. Selain itu, jangan berpikir bahwa bisa jadi tidak akan sempat menikmati hasilnya, mengingat untuk berbuah dibutuhkan waktu relatif lama, tetapi berpikirlah bahwa tanaman tersebut nantinya akan tetap dapat bermanfaat, setidaknya bagi anak cucu kita.
Itung-itung sudah ninggalin warisan,” tambah peraih penghargaan Perintis Lingkungan Hidup Terbaik I Tingkat Provinsi Jawa Barat tahun 2002 ini.
0 Comments