Kencur (Kaempferia galanga L.) merupakan salah satu jenis empon-empon atau tanam-an obat. Tanaman mungil yang tergolong suku temu-temuan (Zingiberaceae) ini, juga termasuk komoditas yang memiliki prospek pasar sangat baik. Sebab, ia termasuk bahan baku penting dalam industri negeri ini, seperti obat tradisional, kosmetika, obat herbal terstandar, saus rokok, bumbu, bahan makanan, dan minuman penyegar. Bahkan, dalam industri jamu, kencur (jahe, kunyit, dan temulawak) diibaratkan sebagai nasinya. Russanti Lubis

Kelebihan kencur bukan cuma sampai di situ. Ia juga pandai menabung. Misalnya, ketika akan dipanen (10 bulan setelah benihnya ditanam, red.), ternyata harganya sedang jatuh, maka ia tidak perlu dipanen dan tetap dibiarkan di dalam tanah hingga berumur tiga tahun. Kondisi ini tidak akan mengurangi manfaatnya, bahkan jumlah produksinya akan bertambah banyak. Sebab, dari satu rimpang (batang di dalam tanah yang membesar, red.) kencur akan tumbuh rimpang berikutnya di atas rimpang sebelumnya dengan bentuk yang lebih kecil, setiap tahun. Dengan bertambahnya umur, patinya pun akan semakin tinggi tapi ia tidak dapat dijadikan bibit, karena kualitasnya sudah menurun. Selain itu, dalam kondisi basah, kencur yang dipanen saat berumur lebih dari 10 bulan dapat disimpan dalam gudang selama 3–4 bulan. Sedangkan dalam kondisi kering, dapat disimpan di gudang selama 3–4 tahun dengan kegunaan yang sama dengan kencur segar. Bahkan, harganya jauh lebih mahal, meski bentuknya menyusut, kadar airnya berkurang, dan baunya berubah.

Namun, produktivitas tanaman yang memiliki bau khas ini di tiga provinsi produsen utama yaitu Jawa Barat (Bogor, Bekasi, Sumedang, Sukabumi, Subang), Jawa Tengah (Boyolali, Karanganyar), dan Jawa Timur (Madiun, Malang, Ponorogo, Pacitan), masih sangat rendah, cuma 6,1 ton/ha. “Kemungkinan hal ini terjadi karena gagal panen, gangguan musim, atau petani kencur beralih ke komoditas lain ketika harga sedang jatuh, dan adanya permainan pasar. Di sisi lain, petani tanaman obat pada umumnya hanya memiliki lahan seluas pekarangan dan kencur sekadar ta-naman sisipan (tumpangsari), sehingga produksinya ya cuma segitu. Selain itu, sejauh ini, mereka masih menanam kencur dengan cara tradisional,” kata Otih Rostiana, Peneliti Madya Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatropika (Balittro), yang bermarkas di Bogor.

Menurut sebuah majalah, untuk memenuhi kebutuhan kencur Indonesia masih harus mengimpor dari Cina, Malaysia, dan Thailand yang mutunya kurang memenuhi standar industri besar tanah air. Tapi, Otih melanjutkan, kebenaran berita ini masih diragukan, sebab tidak pernah ada data yang menjelaskan tentang itu. Untuk mengatasi kondisi ini, Balittro berupaya mengubah pola tanam dari tradisional menjadi menurut Standar Operasional Prosedur (SOP).
“Kencur yang ditanam secara tradisional berarti menggunakan bibit asal-asalan, sehingga kencur yang dihasilkan tidak seragam. Juga memakai pupuk seadanya atau pupuk kandang (pukan) dengan takaran sekenanya. Dengan cara semacam ini, sentra produksi kencur rata-rata hanya mampu menghasilkan 6–8 ton/ha. Sebaliknya, kencur yang ditanam mengikuti SOP berarti menggunakan bibit terpilih, cara berbudidaya dan cara pengolahan yang lebih baik sehingga terjadi peningkatan minimal sebesar 30%,” ujar perempuan bergelar doktor itu.

Bibit terpilih yang dimaksud adalah varietas unggul kencur yang dinamai Galesia (Galanga Indonesia) 1, Galesia 2, dan Galesia 3. Sekadar informasi, kencur dalam Bahasa Inggris adalah Indian Galanga. Dengan Galesia ini terjadi peningkatan produksi hingga mencapai lebih dari 10 ton/ha. Bahkan, Galesia 1 yang menggunakan pukan, mampu menghasilkan 16 ton/ha. Di samping itu, Galesia yang memiliki asal muasal yang jelas, diharapkan nantinya dapat diekspor karena telah memenuhi Good Agricultural Practice atau standar internasional untuk ekspor tanaman obat.
“Galesia 1, Galesia 2, dan Galesia 3 dibedakan dari bentuk rimpangnya. Bentuk rimpang Galesia 1 lebih besar dan mampu berproduksi lebih banyak daripada Galesia 2 dan Galesia 3. Sedangkan Galesia 2 dan Galesia 3 memiliki kandungan minyak atsiri lebih tinggi dan relatif lebih mudah beradaptasi di daerah baru diban-dingkan Galesia 1. Selain itu, Galesia 1 cenderung lebih baik digunakan untuk minuman kesehatan, sedangkan Galesia 2 dan Galesia 3 untuk jamu dan kosmetika,” jelasnya.

Di samping itu, ketiganya rentan terhadap penyakit bakteri layu. “Sejauh ini, kami belum dapat mengantisipasinya, sebab belum ada kerabatnya. Sekadar informasi, untuk menciptakan varietas unggul yang tahan penyakit, varietas tersebut harus dikawinkan dengan varietas lain atau kerabatnya yang tahan penyakit. Yang bisa kami rekomendasikan yaitu pertama, ja-ngan membeli bibit yang sudah berbentuk rimpang atau sudah dipanen, tapi belilah yang masih di dalam tanah. Kalau terpaksa membeli yang sudah dipanen, seleksilah satu persatu dengan cara dibaui atau dipatahkan. Kedua, jangan menggunakan lahan yang bekas dipakai menanam temu-temuan, terutama yang ada penyakitnya. Karena, bakteri layu ini mudah menular. Bila kedua hal ini sudah dilakukan tapi kencur tetap terkena bakteri layu, cepat cabut dan bakar atau semprot dengan bakterisida,” ujarnya.

Bakteri layu ini juga menyebabkan gagal panen. Sebab itu, lahan hanya diperbolehkan dua kali ditanami kencur dan temu-temuan lain. Setelah itu, harus diistirahatkan atau dirotasi de-ngan tanaman lain selama 2–3 tahun, untuk mematikan penyakit tersebut (untuk mengetahui lebih jauh tentang tata cara berbududaya kencur, lihat boks, red.).