Pada dasarnya manusia mempunyai sifat otoriter. Jika tidak dididik sifat ini akan menjadi buas, menindas, dan bertindak semena-mena. Secara umum ini bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam perusahaan.
Sifat otoriter bisa melengket pada atasan yang sudah lama berkuasa dan yang baru berkuasa. Bagi atasan yang baru berkuasa disebut euforia kekuasaan. Euforia kekuasaan adalah rasa kegembiraan yang berlebihan atas kekuasaan yang baru diperolah. Rasa gembira ini tertuang dalam sikap dan tindakan otoriter. Atasan seperti ini biasanya dibenci oleh bawahan, namun bawahan tidak berani melawan karena tidak mempunyai power.

Euforia kekuasaan sering membuat atasan menjadi tidak beretika. Salah satu bentuk tindakan yang tidak beretika adalah membuat kebijakan sepihak yang merugikan karyawan. Melalui kebijakan tersebut, sang atasan memantau gerak-gerik dan menghukum karyawan bila melanggar kebijakan tersebut. Karena katergantungan ekonomi dan demi kelangsungan hidup keluarga, sebagian karyawan rela diperlakukan seperti budak.
Hal seperti ini biasanya terjadi di negara-negara berkembang. Ini disebabkan oleh minimnya lowongan kerja. Kompetisi antarpencari kerja menjadi ketat. Situasi seperti ini memberi ruang pada atasan untuk bertindak otoriter. Mereka tidak merasa kehilangan bila ada karyawan yang berhenti atau diberhentikan. Pasalnya ribuan percari kerja siap menggantikan posisi karyawan yang keluar tersebut.
Dia tidak sadar bahwa euforia kekuasaan telah membusuki diri sendiri, dan menanamkan kebencian karyawan pada dirinya. Rasa hormat karyawan hanya formalitas belaka, bukan datang dari kesadaran nurani yang tulus.
Ada beberapa ciri euforia kekuasaan. Pertama, tidak humanis. Apa yang akan terjadi bila atasan sudah tidak lagi mempunyai jiwa humanis? Yang pasti dia akan menjadi buas dan menindas. Harus disadari bahwa humanisme membuat manusia menjadi lembut dan mudah tersentuh terhadap fenomena sosial. Tidak sulit menjadi atasan humanis. Dengan merefleksi diri bisa mengetahui sifat buruk yang dimiliki. Persoalannya, sanggupkan Anda mengakui sifat buruk terhadap bawahan? Bagi atasan berego tinggi, hal seperti ini sulit dilakukan karena berhubungan dengan harga din dan prestise.
Kedua, otoriter. Jabatan sering membuat orang lupa diri, alhasil bertindak di luar norma. Menganggap bawahan sebagai budak yang tidak mempunyai hak mengkritik. Tugas bawahan hanya menjalankan perintah atasan. Atasan seperti ini cenderung berpikir menang-kalah. Dengan pola pikir seperti ini, dia cenderung memaksakan kehendaknya dan tidak mau mengakui kemampuan bawahan. Tidak itu saja. Ia juga akan menyingkirkan bawahan yang kualitasnya melebihi kemampuannya, karena dianggap sebagai ancaman, bukan aset perusahaan. Akibatnya bawahan menjadi mandul. Tidak berani bertindak sebelum ada perintah dari atasan. Karena takut dianggap salah, padahal belum tentu salah. Tidak itu saja, bawahan akan menjaga jarak dengan atasan yang sedang gila euforia kekuasaan. Bila ini berlangsung lama, akan mengganggu kelangsungan perusahaan.
Ketiga, temperamental. Demi menjaga kekuasaan, sang euforia kekuasaan melindungi wewenang dengan amarah. Menyelesaikan masalah dengan cara marah, berteriak sambil mengeluarkan kata-kata kotor dan sesekali memukul meja. Baginya, dialog bukan cara yang efektif. Selain itu, sang euforia kekuasaan tidak pernah menggunakan komunikasi dua arah. Jika terjadi kesalahan karyawan, tidak diberi kesempatan untuk berargumen dan membela diri. Tidak itu saja. Ia tidak segan-segan memarahi karyawan di depan umum. Jarang sekali is memanggil karyawan bermasalah ke ruang kerja pribadi atau ruang rapat.
Keempat, sok pintar. Selalu menonjolkan diri di setiap meeting baik dengan karyawan maupun dengan klien. Kalau tidak sanggup, baru menggunakan tenaga bawahan. Setelah berhasil, ia tidak akan mengakui perjuangan yang telah dilakukan bawahan. Ia yang mendapat nilai di mata big bos, bukan bawahannya.
Kelima, suka mengkritik. Untuk kesempurnaan, kritik perlu. Namun tidak semua pekerjaan harus dikritik. Pada dasarnya setiap karyawan ingin sempurna, karena kesempurnaan berhubungan dengan kelangsungan karier dan kehidupan. Kritikan yang dilakukan sang euforia kekuasaan adalah hal yang tidak penting. Kritikan yang dilakukan bukanlah untuk kebaikan tapi untuk menaikkan nilai diri sendiri.
Ciri keenam, atasan seperti ini banyak tingkah, suka menelepon sana-sini dan tertawa tanpa batas. Suka bergosip padahal pekerjaan tidak pernah selesai. Sementara bawahan terus diburu untuk cepat menyelesaikan pekerjaan. Untuk menutupi kekurangan, dia menonjolkan din dan sok hebat di depan semua karyawan.


Atasan Yang Cerdik

Sebagai atasan baru, ada beberapa hal yang bisa dilakukan agar dicintai bawahan. Pertama, mengkritik dengan baik. Sebagai atasan Anda mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan bawahan. Jika man melakukan kritik, lakukanlah secara obyektif sesuai dengan kapasitas sebagai atasan. Jangan mengkritik dengan gaya diktator. Hindari kritikan bersifat pribadi dan menuding, "Kamu goblok, kamu pemalas." Lakukan kritikan pada batas-batas wajar tanpa mengurangi pesan yang mau disampaikan. Selain mengkritik, Anda juga harus bisa memberikan solusi sambil memperlihatkan itikad baik untuk memperbaiki pekerjaan.
Kedua, membangun kepercayaan bawahan. Sebagai atasan harus mendapat dukungan dari bawahan, bertujuan untuk mendukung bila tersandung masalah dalam sistem kerja. Berikan kebebasan pada bawahan untuk memberikan kritikan. Dari sini Anda bisa tahu apa yang disukai, tidak disukai dan yang diinginkan bawahan. Setelah evaluasi, pastikan bahwa anak buah sudah solid dan loyal pada atasan, hingga proyek bisa dijalankan dengan optimal.
Ketiga, membuat batasan yang jelas. Harus tahu kapan bersikap sebagai atasan dan teman, tujuannya agar wibawa tetap terjaga. Kalau sudah tidak lagi digunjingi (negatif) bawahan, berarti Anda telah berhasil menjadi mentor yang baik.
Keempat, sebagai tumpuan. Memisahkan antara kepentingan kantor dengan teman. Jadikan din sebagai tumpuan bawahan dalam menyelesaikan masalah di luar pekerjaan. Murah membantu baik secara materi dan nonmateri. Walau sudah putus hubungan kerja, alias tidak sekantor lagi, hubungan sebagai manusia akan terus terjalin. Bekas bawahan tidak akan melupakan Anda.
Kelima, memberikan penghargaan. Jangan pelit memberikan penilaian, fasilitas tambahan dan promosi jabatan. Ini bisa memacu semangat bekerja bawahan dan memperbaiki pola kerja. Sebab aset yang paling mahal adalah sumber daya karyawan. Nilainya lebih mahal dari alat-alat kantor