Orangtua jangan jadi super problem solver bagi anak. Biarkan anak menerima konsekuensi yang tak menyenangkan jika dia tak melakukan tugasnya sebagai cara anak belajar bertanggung jawab.

Ponsel Mariana (30 tahun) berbunyi anaknya, Boby (6 tahun), yang menelponnya. "Ibu jangan marah ya, Ibu enggak marah kan." Belum apa-apa Boby sudah berkata demikian dan Mariana tahu pasti ada kesalahan yang dilakukan anaknya. "Aku gak tau kalau tongkat sapuku kena mainan Ibu, jadi pecah deh. Maaf ya Bu," sambung Boby. Demikian cara Boby bertanggung jawab dengan mengakui kesalahan berikut alasannya. Mariana memang menekankan pada anaknya bahwa semua barang yang mereka miliki diperoleh dengan usaha, jadi harus dijaga dengan baik. "Ya, tapi Ibu tetap kecewa kamu gak hati-hati main sapu di dekat rak pajangan Ibu," katanya. Menurut Mariana, kata-katanya ini sudah mampu membuat Boby tak nyaman dan itu menjadi bentuk hukuman juga.
Lain lagi yang dilakukan Yoanita (32 tahun) pada Nadila (7 tahun). "Kalau awal dia masuk SD saya yang menyusun buku-buku pelajarannya tiap hari, maka sekarang saya lepaskan dia sendiri yang mempersiapkannya. Mulanya Yossy, berharap saya akan membantunya, tapi saya diam saja. Pernah dia salah masukkin buku dan ditegur gurunya karena tak membawa buku pelajaran semestinya. Itu juga menjadi pengalaman yang baik bukat Yossy dan dia tahu apa konsekuensinya kalau tak mempersiapkan buku sesuai dengan daftar mata pelajaran," papar Yoanita.
Ini merupakan bagian dari mengajarkan anak bertanggung jawab. Namun, sejauh mana anak bisa belajar bertanggung jawab? Psikolog Yayasan Kita dan Buah Hati, Elly Risma Musa MPsi mendefinisikan tanggung jawab pada anak-anak sebatas bertanggung jawab untuk kepentingan diri sendiri. "Anak mengerti bagian yang harus dikerjakannya hingga selesai serta mengetahui konsekuensi atas perbuatannya," katanya. Memang, sambung Elly, untuk mengajarkan tanggung jawab pad anak terlebih dahulu anak diajarkan bertanggung jawab terhadap diri sendiri, perbuatannya dan pekerjaannya kemudian melangkah tanggung jawab pada keluarga, teman lalu masyarakat.
Menurut psikolog Lembaga Konsultasi Psikolog Daya Insani, Sali Rahadi MPsi, perkembangan kemampuan anak dalam hal kognitif, motorik, dan koordinasi anggota tubuh yang membedakan definisi tanggung jawab antara Anda dengan anak. Sehingga anak belum mampu belajar tanggung jawab sendiri dan masih harus diarahkan orangtua. “Tanggung jawab perlu dipupuk sejak dini jika tidak, nanti anak akan merasa terbebani, oleh sebab itu ajarkan secara bertahap,” katanya.
Tanggung jawab pada diri sendiri
Elly menambahkan, dalam menerapkan tanggung jawab, orangtua harus melihat usia dan tahap perkembangan otak anak. Anak mulai bisa diajarkan tanggung jawab saat berusia 18 bulan karena di mulai mengalami perkembangan individu dan ekspektasi sosial. "Orangtua harus bisa menyesuaikan perkembangan dua aspek ini, misalnya saat diberi finger food anak bisa mengambilnya kemudian memasukkannya ke dalam mulutnya. Anak sudah bisa menentukan pilihan bentuk atau rasa yang ingin dimakan," kata Elly. Atau anak sudah bisa memegang gelas bergagang dua, meminum isinya lalu menaruhnya dengan baik tanpa dibanting atau terjatuh.
Saat berumur 2-3 tahun perkembangan motorik dan koordinasi gerak anak sudah menunjukkan kemampuan mengurus kepentingannya sendiri, seperti memakai baju dan sepatu sendiri. Sali menambahkan, agar anak tertarik ajarkan dengan fun dan melalui proses pembiasaan. Misalnya, sejak usia dini anak diajarkan makan sendiri secara bertahap mulai dari duduk di kursi, memegang sendok, memasukkan makanan ke dalam mulutnya. “Namun, orangtua juga perlu fleksibel karena anak memerlukan pelajaran yang berulang-ulang,” sambungnya.
Selain itu, didik anak bagaimana seharusnya bersikap sedini mungkin. Misalnya ketika anak berteriak minta minum dan menolak minum susu, orangtua bisa ajarkan anak meminta dengan sopan. Ingatkan anak menghabiskan minuman yang dipilihnya. Melalui contoh sederhana ini anak akan berpikir, memilih dan mengambil keputusan diikuti konsekuensi serta tanggung jawab terhadap pilihannya tersebut. “Lain halnya jika orangtua memaksakan kehendaknya, anak tidak bisa dituntut untuk bertanggung jawab karena itu bukan pilihannya, maka sebaiknya tanggung jawab merupakan komitmen kedua pihak, yaitu orangtua-anak,” papar Elly.
Akibatnya, tambah Elly, anak tidak akan sampai pada tingkat kemandirian yang seharusnya dan tidak bertanggung jawab pada perbuatan yang dilakukannya. Maka orangtua perlu membekali diri dengan tiga hal untuk mendidik anak bertanggung jawab, yaitu pengetahuan tingkat perkembangan anak, bagaimana cara otak anak bekerja, dan gaya komunikasi yang diterapkan pada anak. Poin pertama dan kedua bisa dipelajari melalui buku, seminar dan konsultasi. Sedangkan poin ketiga, orangtua perlu mengasah keterampilan gaya komunikasi yang memotivasi anak, misal memuji anak ketika melakukan sesuatu dengan baik.
Elly mengatakan, orangtua jangan jadi super solver problem anak. Misalnya, ketika anak lupa membawa PR-nya. Jika sesekali Anda mungkin bisa mengantarkannya ke sekolah, namun biasakan mengingatkan anak. Jadi ketika anak mengulang perbuatannya, biarkan anak menghadapi risikonya, misal anak merasakan tidak enaknya mendapat hukuman sehingga nantinya akan lebih bertanggung jawab pada tugas sekolahnya.
Saat mengajarkan tanggung jawab, lanjut Elly, kuncinya adalah dengan mengoptimalkan perangkat keibuan dan keayahan. Tak harus berpendidikan tinggi, setiap orangtua memiliki kemampuan untuk menumbuhkembangkan rasa ini. Dengan rasio dan hati disertai pendidikan mengenai pengasuhan anak (parenting) orangtua bisa menghargai anak sehingga informasi yang disampaikan lebih mudah diterima anak. Sisipkan humor saat menerangkan sesuatu. “Informasi akan diserap lebih mudah jika sesuai dengan keinginan anak dan anak senang mendengarkannya,” imbuh Elly.
Sali menjelaskan, jika sepenuhnya orangtua mengandalkan pengasuh dalam mendidik anak. maka anak akan melihat bahwa orangtuanya menyerahkan tanggung jawab pada orang lain. Pada usia 0-8 tahun anak belajar dari sesuatu hal yang konkret untuk menyerap informasi. ‘’Bisa dibayangkan, jika orangtua sendiri menunjukkan perilaku yang tak bertanggung jawab, informasi itulah yang diterima anak,’’ katanya. Tapi, bukan berarti bantuan pengasuh tabu sama sekali, orangtua bisa memberikan pendidikan, mencontohkan, dan mengevaluasinya.
Berikan batasan-batasan yang jelas bagian mana yang dapat dilakukan pengasuh dan yang tidak. Jangan biasakan anak bergantung pada pengasuhnya. Misalnya ingatkan anak jam makan siang, jika anak menolak dan kemudian merasa lapar, anak menerima konsekuensinya lalu akan belajar mengurus dirinya sendiri. “Pengasuh hanya sebagai reminder saja, juga membantu anak jika memang anak meminta atau bantu memikirkan pemecahan dari sebuah masalah,” terang Sali.
Tanggung Jawab pada keluarga dan masyarakat
Sali menjelaskan, sebelum memberikan tanggung jawab untuk keluarga, lihat dulu perkembangan usia dan kemampuan anak dalam hal koordinasi tubuh yang baik. anak bisa mulai diajarkan membantu pekerjaan rumah Anda, seperti membereskan tempat tidurnya setiap hari sebelum berangkat ke sekolah.
Berikan pula tugas-tugas dengan jadwal yang rutin. Contohnya, minta anak bertugas mengganti plastik sampah dan membuangnya setiap dua hari sekali atau membersihkan kamar mandinya setiap hari Sabtu. Usahakan untuk berdiskusi dengan anak pekerjaan rumah apa yang mampu dikerjakannya. Selain itu berikan penjelasan yang spesifik mengenai pekerjaan rumah tersebut. “Dengan memberikan kepercayaan, anak akan berkesempatan menunjukkan tanggung jawabnya terhadap keluarga,” ujar Elly.
Sali mengatakan, jika pondasi lingkungan internalnya sudah kuat, maka anak dapat mengembangkan tanggung jawab di luar lingkungan keluarga, yaitu masyarakat. Jika orangtua menganggap tanggung jawab adalah nilai penting maka penanamannya akan mengakar pada anak. “Tentunya orangtua menjadi role model, seperti apa bertanggung jawab itu, karena anak cenderung menjiplak perilaku orangtuanya,” ujarnya.
Elly menjelaskan, ekspektasi orang tentang tanggung jawab anak pada masyarakat tidak sama dengan orang dewasa. Anak bisa memulai dari lingkungan terdekatnya seperti lingkungan rumah (tetangga) dan sekolah. Di lingkungan tetangga misalnya, minta anak mengantarkan makanan atau tidak merusak tetumbuhan di pekarangan tetangga. Begitu pun di sekolah, anak belajar bertanggung jawab pada perilaku dan pekerjaannya saat belajar di kelas.
Sesekali minta anak menghibur beberapa teman-teman sebayanya yang kurang mampu sesuai dengan kemampuannya seperti menyumbang mainan, memainkan musik sambil bernyanyi atau biarkan anak yang mengemban tugas membagikan kue. Dengan mengikutsertakan anak terlibat dalam pekerjaan sosial Anda, anak akan merasa dihargai dan belajar bertanggung jawab atas perannya tersebut. “Sehingga saat dewasa nanti anak akan terbiasa memberikan kontribusinya kepada lingkungan sosialnya dan juga bersikap empati,”papar Elly.
Tips agar anak tidak mudah melakukan blame game
Tanyakan pada diri Anda, apakah Anda mengajarkan blame game baik tanpa sengaja maupun sengaja? Jangan menyangka anak Anda yang masih berusia 0-8 tahun tidak memperhatikannya. Pada usia ini anak adalah observer yang baik. Ketika usianya di atas 8 tahun anak menguji batasan dan informasi yang didapatnya. Anak akan meniru tindakan orangtuanya termasuk menyalahkan orang lain jika tindakannya dinilai salah.
Bersikap konsisten. Sebaiknya orangtua konsisten dalam memberikan batasan-batasan yang jelas dan tegas misalnya mengajari anak bertanggung jawab saat makan, yaitu makan tidak boleh berantakan. Sehingga ketika anak ceroboh menumpahkan makanannya, anak akan belajar mengakui kesalahannya dan menanggung risikonya dengan membersihkan tumpahan makanan. “Blame game terjadi karena anak tidak dibiasakan sedini mungkin menerima konsekuensi akibat kurangnya konsistensi orangtua,” ujar Elly.
Chana Heller, MSW, Direktur Womens Outreach dan pengajar kelas parenting di Jerman melalui artikelnya Teaching Children Responsibility memaparkan beberapa tahap cara orangtua mengajarkan tanggung jawab pada anak.
Berikan anak kepercayaan untuk mengemban suatu tugas sesuai dengan kamampuannya.
Jangan membebaninya terlalu banyak pekerjaan. Lihatlah kondisi atau suasana hatinya, karena dapat menurunkan motivasi dan kesuksesan yang ingin diraihnya.
Andalkan anak dalam bertanggung jawab. Saat memberikan tanggung jawab diskusikan waktu yang tepat untuk menyelesaikannya. Selain itu biarkan anak menyelesaikan dengan caranya sendiri, orangtua hanyalah mengarahkan. Jika tidak terselesaikan, bantu anak sesuai dengan kebutuhannya.
Jangan pernah menyebut anak tidak bertanggung jawab. Anak akan merasa dirinya memang tidak bertanggung jawab
Bantu anak mengatur pekerjaan sekolahnya. Misalnya, ketika anak harus mengerjakan PR, atur waktu kapan anak harus ke perpustakaan dan menulis hasil amatannya.
Jangan lakukan tugasnya. Bukan hal janggal melihat orangtua terjebak mengerjakan PR anaknya. Biarkan anak mengerjakan PR-nya sendiri, namun tetap dampingi. Bantu jika anak mengalami kesulitan. Sehingga anak belajar bahwa PR merupakan tanggung jawabnya.
Ajari anak mengatur keuangannya. Sebaiknya berikan uang secukupnya dan hindari mempergunakan uang tersebut lebih dari yang mereka punya. Jika menginginkan sesuatu ajari anak mengumpulkan uang dan hindari berhutang. Selain itu, biasakan anak menyisihkan uangnya untuk kegiatan sosial.
Ajak anak menjadi sukarelawan. Kegiatan ini bisa dilakukan saat liburan sekolah misalnya di sebuah panti sosial, menjadi guru untuk anak-anak jalanan. Melalui kegiatan ini anak belajar menghargai waktu, dan belajar bertanggung jawab pada lingkungan sosialnya.