Sejak awal 1999 PPKS telah melakukan kajian intensif mengenai marka gen pengendali ketebalan cangkang melalui teknik Randomized Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dimana sebanyak 220 primer operon digunakan dalam penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa beberapa marka potensial untuk deteksi Sh, antara lain OPO-20 dan OPR-11, usaha lain untuk mendeteksi gen pengendali ketebalan cangkang dengan teknik RAPD juga telah dilakukan. Teknik lain yang juga telah digunakan untuk deteksi gen pengendali ketebalan cangkang adalah SSR (Simple Sequence Repeat) dimana melalui analisis pautan genetik dan bulk segregation telah ditemukan beberapa lokus marka DNA yang berpengaruh terhadap karakter ketebalan cangkang buah kelapa sawit .

Sejak awal 1999 PPKS telah melakukan kajian intensif mengenai marka gen pengendali ketebalan cangkang melalui teknik Randomized Amplified Polymorphic DNA (RAPD) dimana sebanyak 220 primer operon digunakan dalam penelitian ini. Hasil analisis menunjukkan bahwa beberapa marka potensial untuk deteksi Sh, antara lain OPO-20 dan OPR-11, usaha lain untuk mendeteksi gen pengendali ketebalan cangkang dengan teknik RAPD juga telah dilakukan. Teknik lain yang juga telah digunakan untuk deteksi gen pengendali ketebalan cangkang adalah SSR (Simple Sequence Repeat) dimana melalui analisis pautan genetik dan bulk segregation telah ditemukan beberapa lokus marka DNA yang berpengaruh terhadap karakter ketebalan cangkang buah kelapa sawit .



Alternatif lain untuk mencari marka molekuler dalam rangka membedakan tipe/varietas kelapa sawit adalah melakukan eksplorasi terhadap ribosomal DNA (rDNA) dimana region ini meliputi small subunit (18 S), internal transcribed spacer 1 (ITS1), 5.8S, internal transcribed spacer 2 (ITS2), large subunit (26 S), intergenic spacer 1 (IGS1), 5S dan intergenic spacer 2 (IGS2). Studi dengan menggunakan ezim pemotong (restriction enzyme) pada tanaman maupun binatang membuktikan bahwa region ITS dan IGS dalam suatu populasi dalam satu spesies bervariasi sehingga region ini mempunyai potensi untuk dieksploitasi guna menemukan marka yang dapat membedakan ketiga varietas kelapa sawit. Selain itu DNA ribosomal mudah diekstraksi dengan kemurnian DNA yang memadai untuk digunakan pada PCR jika dibandingkan DNA kromosomal dan yang lebih meng¬untungkan untuk menjadikan daerah ini sebagai target adalah dimana dalam satu ribosomal terdiri lebih dari 200 repeat unit sehingga akan memudah¬kan untuk diamplifikasi dengan PCR.



Pendekatan untuk membedakan ketiga varietas kelapa sawit didasarkan pada data awal sekuen yang diperoleh dari GenBank pada daerah 5.8 S pada ketiga varietas kelapa sawit Dura, Tenera dan Pisifera dan setelah data itu diolah ternyata terdapat sedikit perbedaan sekuen.
Informasi ini cukup penting mengingat daerah 5.8 S untuk berbagai varietas dalam satu spesies biasanya sangat seragam (conserve), bila data sekuen awal tersebut akurat maka eksploitasi daerah ITS dan 5.8 S untuk ketiga varietas kelapa sawit akan lebih menarik dengan harapan akan diperoleh sekuen yang lebih bervariasi sehingga menjadi daerah target yang ideal untuk membedakan ketiga variatas kelapa sawit tersebut.



Sekuen dari ketiga varietas kelapa sawit tersebut dengan meng¬gunakan program Mapdraw dari DNAstar secara teoritis dapat dibedakan dengan meng¬gunakan restriksi enzim. Dengan penggunaan restriksi enzim maka secara teoritis ketiga varietas kelapa sawit tersebut dapat dibedakan dengan jalan sebagai berikut, varietas Pisifera dimana daerah 5.8 S dapat dipotong dengan restriksi enzim Taq II, tetapi tidak dapat dipotong dengan restriksi enzim BssH II, sedangkan varietas Tenera daerah 5.8 S dapat dipotong dengan restriksi enzim BssH II tetapi tidak dapat dipotong restriksi enzim Taq II. Varietas Dura tidak dapat dipotong baik oleh restriksi enzim Taq II maupun restriksi enzim BssH II. Berdasarkan informasi data sekuen primer dari berbagai tanaman baik monokotil maupun dikotil yang digunakan untuk mengamplifikasi daerah ITS tersebut kemudian didesain berbagai primer untuk dapat mengamplifikasi daerah ITS sekaligus daerah 5.6 S pada tanaman kelapa sawit, selain itu pasangan-pasangan primer tersebut diharapkan dapat membedakan ketiga varietas kelapa sawit berdasarkan ukuran fragmen DNA hasil amplifikasi.



Primer utomo1- ITSC26 dapat membedakan varietas Pisifera (panah no. 3) dengan kedua varietas baik Dura maupun Tenera, tetapi varietas Dura tidak dapat dibedakan dengan varietas Tenera melalui primer utomo1- utomo2. Untuk akurasi data penentuan varietas Pisifera diperlukan pengujian lebih lanjut dari berbagai populasi Pisifera. Kelemahan dari metoda ini tidak semua DNA dapat diamplifikasi untuk menghasilkan ukuran fragmen DNA yang seragam walaupun sampel-sampel itu diambil dari satu varietas (panah no. 2). Untuk itu perlu dilakukan sekuensing dan selanjutnya didisain primer yang dapat menghasilkan fragmen DNA untuk ketiga varietas kelapa sawit kemudian dilakukan sekuensing masing-masing varietas dengan harapan didapat perbedaan basa agar dapat diprogram dengan Mapdraw. Hasil amplifikasi PCR dari varietas Pisifera telah disekuensing dan hasilnya menunjukkan bahwa primer utomo1- ITSC26 mengamplifikasi daerah ITS termasuk daerah 5.8 S.



Pasangan primer lain yaitu utomo1-utomo2 telah digunakan untuk mengamplifikasi daerah ITS dan 5.8S pada ketiga varietas kelapa sawit dimana berdasarkan pola ukuran DNAnya, varietas Dura (terdapat dua band) dapat dibedakan dengan kedua varietas Tenera dan Pisifera, sedangkan varietas Tenera tidak dapat dibedakan dengan varietas pisifera melalui pasangan primer ini.



Kultur Jaringan
Selama tahun 2005, laboratorium kultur jaringan telah melakukan serangkaian kegiatan yang meliputi perbaikan koalitas dan efisiensi biaya produksi klon kelapa sawit melalui perbaikan daya regenerasi kalus, embrio somatik dan kualitas akar. Peningkatan daya regenerasi/indek perbanyakan (IP) pada percobaan ini dibandingkan dengan digunakannya media stándar atau kontrol sebagai berikut: Media (MK1), IP= 85 %, media (MK2), IP= 110 %, media (MK3), IP= 105 % dan media (MK4), IP= 166 % jika dibandingkan dengan kontrol. Indeks perbanyakan (IP) embriosomatik yang diperoleh pada percobaan ini dibandingkan dengan digunakannya media stándar atau control sebagai berikut: Media (ME1), IP= 92 %, media (ME2), IP= 110 %, media (ME3), IP= 108 % dan media (ME4), IP= 122 % jika dibandingkan dengan kontrol. Usaha untuk meningkatkan kualitas perakaran planlet adalah dengan digunakannya media cair untuk menggantikan media padat (kontrol) dengan hasil sebagai berikut: dengan media cair akar tipe A (akar sangat baik) rata-rata 65 %, sedangkan media padat hanya 59 %; akar tipe B (akar cukup baik) pada media cair rata-rata 25 %, sedangkan pada media padat rata-rata 20 %; akar tipe C (akar kerdil) pada media cair rata-rata 10 % sama dengan media padat; akar tipe D (tidak berakar) pada media cair 0 %, sedangkan pada media padat rata-rata 12 %.



Kepala Kelompok Peneliti : Dr Ir Condro Utomo



Profil Peneliti
Peneliti dan Staf Penunjang :
* Dr Ir Sjafrul Latif, MS
* Dr Ir Yohanes MS Samosir
* Drs Gale Ginting
* Muhammad Arief, SP
* Diana Larasati Ginting, SSi
* Retno Diah Setiowati, SSi
* Nancy Donawita Haro, SP